Oleh: Riezky Putra
Memasuki ruang galeri yang didominasi warna
merah marun dan biru donker sejak pameran Raden Saleh yang lalu, kita segera
dihajar oleh lukisannya yang menggambarkan pertunjukan Jathilan di hadapan
sejumlah hakim negara. Tampak garis dan warna yang ekspresif menjelma menjadi
sekumpulan penonton dan pemain yang seakan trans, kesurupan. Di latar
belakang sosok-sosok hakim seperti
ikut kesurupan pula. Seorang hakim tampak masyuk berciuman sementara yang
lainnya menggigit ayam
hidup-hidup. Mudah sekali membaca apa yang Pekik ingin sampaikan. Menarik rasanya membayangkan pujangga
Ronggowarsito kembali hidup dan membacakan “Zaman Edannya” yang terkenal itu di
pembukaan pameran ini. Saya bisa melihat mereka bersalaman sambil saling
tersenyum puas.
Di masa mudanya Djoko Pekik adalah anggota
dari sebuah studio seni rupa bernama Bumi Tarung yang setelah peristiwa 1965
dikaitkan dengan Lekra dan PKI. Pekik dipenjarakan tanpa persidangan pada tahun
1966 dan baru dinyatakan bebas enam tahun kemudian. Seperti yang sering
dinyatakan bahwa tubuh bisa dimatikan tapi pikiran tidak, Pekik yang menyandang
stigma sebagai mantan tahanan politik meneruskan berkarya degan tema-tema
galak, berusaha menampar
masyarakat terus menerus.
Ketika kami mengelilingi ruangan ketara sekali
pesan-pesan politik dalam karyanya tapi lebih kentara lagi kecintaannya pada
budaya tanah kelahirannya. Lahir di Grobgan, Jawa Tengah Pekik akrab dengan
keanekaragaman seni rakyat di sekitarnya. Sindirannya terhadap pihak pengasa
dipupur dengan penggambarannya yang energetik dari pemain ledek, kuda lumping,
penjaja makanan di pasar,anak-anak denan kaki telanjang. Saya selalu merasa
para seniman sosialisme sosial selalu pintar menggambarkan kehidupan sehari-hari
(lepas dari pesan politiknya).
Saya diam-diam tertawa ketika melihat pada
beberapa lukisan, Pekik tampaknya mengalami melankoli yang kami rasakan. Gedung
Istana Negara dikelilingi rangka-rangka bangunan dan “leher brontosaurus”.
Simbol kekuasaan ditelan simbol kekuasaan lainnya. Akhirnya kami sampai di depan masterpiece Pekikyang dibuat era 1960-an,
Tuan Tanah kawin muda. Terinspirasi dari pengalamannya selama ‘blusukan’ di
kawasan Trisik, Kulon Progo Yogya menurut saya lukisan ini merupakan salah
pernyataan sikap anti-feodalismenya yang paling personal . Karya Pekik adalah sebuah teriakan
sunyi dari sebuah generasi. Saya teringat pembelaan Socrates ketika dia
disidang atas tuduhan meracuni pikiran anak-anak muda” Dia berkata,” Warga Athena… bila kalian
membunuhku, kalian tak kan mudah menemukan pengganggu sepertiku yang Tuhan
telah anugerahkan kepada negeri ini. Negeri ini bak kuda ningrat yang
besar, yang berjalan demikian lamban lantaran ukuran tubuhnya. Ia mustilah
diusik agar hidup kembali. Dan akulah pengganggu itu yang Tuhan telah tempatkan
di negeri ini. Dan di sepanjang waktu, di mana-mana, aku akan selalu
mendekatimu, membangunkanmu, membujuk dan mengusikmu.”
Keluar dari Galeri Nasional saya melihat di
salah satu dinding, tertulis salah satu quotes
dari Pekik sendiri, “Come what may an
artist will survive. I will not be destroyed by anything.” Saya saat itu cuma
bisa mengatakan “Amin”. Mendadak Galeri Nasional terasa lebih hening dari
biasanya. Hanya keriuhan kendaraan di dekat Gambir yang sayup-sayup terdengar.
No comments:
Post a Comment