.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Monday, October 21, 2013

Zaman Edan Kesurupan

Oleh: Riezky Putra


Malam tanggal 13 Oktober tersebut rasanya berbeda, di tengah hiruk pikuk Jakarta yang membandel tidak mau menghilang, Galeri Nasional Indonesia adalah sebuah sanctuary yang hening. Dari bangunan gaya neo-klasik buatan para Tuan di awal abad ke-19 itu kami bisa melihat traktor-traktor pembangun gedung bagaikan- seperti yang dikatakan teman saya- leher Brontosaurus. Tentu saja kami di sana tidak sengaja untuk menjadi melankoli tentang percepatan pembangunan di Jakarta, kami sekedar hadir untuk melihat pameran dengan judul ganas, “Zaman Edan Kesurupan “dari seniman Djoko Pekik yang dikuratori oleh M. Dwi Marianto.


Memasuki ruang galeri yang didominasi warna merah marun dan biru donker sejak pameran Raden Saleh yang lalu, kita segera dihajar oleh lukisannya yang menggambarkan pertunjukan Jathilan di hadapan sejumlah hakim negara. Tampak garis dan warna yang ekspresif menjelma menjadi sekumpulan penonton dan pemain yang seakan trans, kesurupan. Di latar belakang  sosok-sosok hakim seperti ikut kesurupan pula. Seorang hakim tampak masyuk berciuman sementara yang lainnya menggigit ayam hidup-hidup. Mudah sekali membaca apa yang Pekik ingin sampaikan.  Menarik rasanya membayangkan pujangga Ronggowarsito kembali hidup dan membacakan “Zaman Edannya” yang terkenal itu di pembukaan pameran ini. Saya bisa melihat mereka bersalaman sambil saling tersenyum puas.



Belajar di sebuah kampus seni rupa, saya mempelajari tentang sebuah kelompok seni bernama Lekra yang keberadaannya sering diafiiliasikan dengan  partai yang masih dijadikan noda hitam  dalam sejarah Indonesia, PKI (Partai Komunis Indonesia). Lekra dengan anggotanya yang secara dominan berhaluan sosialisme komunisme memang cenderung membuat karya-karya yang berkiblat pada realisme sosial. Dalam lukisan, patung atau drama mereka  kita akan menemukan para pengemis dan petani yang menderita, kebobrokan sistem sosial dan pemeritah, juga potret dari para tuan dan nyonya. Tentu saja bukan dalam kemolekan ala pelukis sosialit masa itu,  Basuki Abdoellah melainkan digambarkan sebaga simbol busuknya sistem Kapitalisme.

Di masa mudanya Djoko Pekik adalah anggota dari sebuah studio seni rupa bernama Bumi Tarung yang setelah peristiwa 1965 dikaitkan dengan Lekra dan PKI. Pekik dipenjarakan tanpa persidangan pada tahun 1966 dan baru dinyatakan bebas enam tahun kemudian. Seperti yang sering dinyatakan bahwa tubuh bisa dimatikan tapi pikiran tidak, Pekik yang menyandang stigma sebagai mantan tahanan politik meneruskan berkarya degan tema-tema galak,  berusaha menampar masyarakat terus menerus.
Ketika kami mengelilingi ruangan ketara sekali pesan-pesan politik dalam karyanya tapi lebih kentara lagi kecintaannya pada budaya tanah kelahirannya. Lahir di Grobgan, Jawa Tengah Pekik akrab dengan keanekaragaman seni rakyat di sekitarnya. Sindirannya terhadap pihak pengasa dipupur dengan penggambarannya yang energetik dari pemain ledek, kuda lumping, penjaja makanan di pasar,anak-anak denan kaki telanjang. Saya selalu merasa para seniman sosialisme sosial selalu pintar menggambarkan kehidupan sehari-hari (lepas dari pesan politiknya).



Saya diam-diam tertawa ketika melihat pada beberapa lukisan, Pekik tampaknya mengalami melankoli yang kami rasakan. Gedung Istana Negara dikelilingi rangka-rangka bangunan dan “leher brontosaurus”. Simbol kekuasaan ditelan simbol kekuasaan lainnya. Akhirnya  kami sampai di depan masterpiece Pekikyang dibuat era 1960-an, Tuan Tanah kawin muda. Terinspirasi dari pengalamannya selama ‘blusukan’ di kawasan Trisik, Kulon Progo Yogya menurut saya lukisan ini merupakan salah pernyataan sikap anti-feodalismenya yang paling personal .  Karya Pekik adalah sebuah teriakan sunyi dari sebuah generasi. Saya teringat pembelaan Socrates ketika dia disidang atas tuduhan meracuni pikiran anak-anak muda” Dia berkata,” Warga Athena… bila kalian membunuhku, kalian tak kan mudah menemukan pengganggu sepertiku yang Tuhan telah anugerahkan kepada negeri ini. Negeri ini bak kuda ningrat yang besar, yang berjalan demikian lamban lantaran ukuran tubuhnya. Ia mustilah diusik agar hidup kembali. Dan akulah pengganggu itu yang Tuhan telah tempatkan di negeri ini. Dan di sepanjang waktu, di mana-mana, aku akan selalu mendekatimu, membangunkanmu, membujuk dan mengusikmu.”



Keluar dari Galeri Nasional saya melihat di salah satu dinding, tertulis salah satu quotes dari Pekik sendiri, “Come what may an artist will survive. I will not be destroyed by anything.” Saya saat itu cuma bisa mengatakan “Amin”. Mendadak Galeri Nasional terasa lebih hening dari biasanya. Hanya keriuhan kendaraan di dekat Gambir yang sayup-sayup terdengar.

No comments:

Post a Comment