Oleh Rukii Naraya
Bus melaju menembus malam yang masih ranum, membawa kami menuju suatu sudut kota Jakarta. Sang pemandu sebelumnya menjelaskan bahwa kami akan dibawa pada sebuah rumah yang menjadi sebuah tempat dimana pertunjukan itu diselenggarakan.
Saya adalah seorang yang tidak beruntung karena tidak dapat menyaksikan “Secangkir Kopi Dari Playa” untuk pertama kalinya dipertunjukan oleh Papermoon Puppet Theater beberapa tahun lalu. Dan Malam itu dalam rangka rangkaian acara yang diselenggarakan Goethe Institute Jakarta bertajuk Budaya dan Konflik, saya menjadi salah satu orang yang beruntung mendapat kesempatan menyaksikan pertunjukan itu.
Sekitar 10 menit kami sampai di sebuah rumah yang telah di setting apik menjadi sebuah Museum Pahit Manis. Museum Pahit Manis memperlihatkan bermacam barang hasil donasi para penonton yang beruntung mendapatkan tiket pertunjukan kali ini.
Saya memperhatikan sepotong kemeja putih yang disumbangkan oleh seorang seorang laki-laki pemberian dari ayahnya, 1 bulan sebelum beliau meninggal. Tertulis bahwa kemeja itu terlalu besar untuk dikenakan lelaki itu, sehingga ia tidak pernah memakainya. Ayahnya selalu bertanya apakah ia menyukai kemeja putih tersebut yang kemudian dijawabnya dengan diam. Kemeja itu adalah penyesalan terbesar lelaki itu, karena tak sekalipun ia sempat melegakan hati ayahnya dengan memakai kemeja pemberian ayahnya tersebut.
Masih banyak lagi barang-barang hasil donasi seperti tiket nonton, bermacam buku, majalah, kamera, masing-masing memiliki kisah yang mungkin akan menggugah perasaanmu ketika membaca kisahnya.
Tak berselang lama, sang pemandu mengajak kami untuk masuk ke dalam satu ruangan lain yang berisi bangku-bangku, barang-barang kuno tertata rapi di sudut utama ruangan tersebut. Setelah mempersilahkan kami duduk, sang pemandu bercerita tentang kisah barang-barang yang ada di dalam ruangan itu. Koper yang dahulu digunakan oleh seorang anggota PMI untuk bekerja, lalu bercerita tentang sebuah kursi, sampai pada cangkir kopi yang dahulu selalu digunakan seorang perempuan untuk menyeduhkan kopi untuk kekasihnya.
Ditengah cerita, tiba-tiba kami dikagetkan dengan matinya lampu ruangan. Setelah beberapa waktu, lampu kembali menyala, dan sudah ada beberapa orang memegang boneka. Ternyata, kita sudah masuk ke dalam rangkaian pertunjukan sedari tadi tanpa kita sadari.
Secangkir kopi Dari Playa berangkat dari sebuah kisah nyata. Dikisahkan seorang pemuda bernama Wi yang terjatuh hatinya pada seorang wanita. Berkasih mesra sampai kemudian mereka mengikat kisah cinta mereka dengan cincin pertunangan.
Lalu pada tahun 1959, lewat siaran radio RRI pemerintah Republik Indonesia mengumumkan kerjasama dengan pemerintah Moskow untuk mengirimkan para pelajar Indonesia melakukan tugas belajar di sana. Wi adalah salah satu pelajar yang beruntung, didaulat untuk mengemban tugas Negara, pergi menimba ilmu ke Negara bernama Uni Soviet itu.
Berjanjilah ia kepada sang kekasih hati untuk kembali dan membangun hidup bersama setelah tugas yang akan ia jalankan ini selesai. Berbekal cinta, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, perjalanan cinta mereka terangkai lewat surat menyurat. Menguntai benang kasih yang manis, menembus jarak yang memisahkan mereka.
Sebuah berita.
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia memutuskan kerjasama apapun yang mengusung ideologi Komunis. Jalinan cinta lewat untaian surat tiba-tiba saja terputus. Wi, pemuda Indonesia yang mengemban tugas Negara itu, terjebak di negeri asing. Ia tak dapat kembali ke negerinya, Republik Indonesia.
Sang kekasih dirundung nestapa, menunggu kepastian cintanya yang terkatung-katung, menunggu tanpa kepastian dan harapan apakah pemuda yang dicintainya akan kembali ke pelukannya. Sampai pada akhirnya, sang kekasih terpaksa menerima pinangan dari lelaki lain, membangun hidupnya yang lain diatas puing-puing kisah cinta sejatinya bersama Wi.
Tahun berganti tahun, terus membawa manusia melanjutkan kisah yang tak tahu apa yang akan ia temui. Wi, pelajar Indonesia itu akhirnya mendapatkan kesempatan untuk kembali ke tanah air. Dengan berbekal kesetiaan yang ia pegang teguh, ia terbang menuju tanah air. Membawa sejuta rasa rindunya menemui cinta sejatinya. Namun, apa yang ia temui adalah cangkir kopi yang pernah ia gunakan disaat mereka masih menjalin kasih dahulu. Kemanakah gerangan sang kekasih hati? Sampai pada akhir cerita, Wi tidak dapat menemui kekasihnya itu.
Waktu kemudian membawanya pada sebuah keputusan. Wi pergi. Mungkin, baginya cinta sejati adalah merelakan kekasihnya membangun hidup baru dengan memegang janji setianya. Kenangan cinta mereka akan terus mereka rasakan di tiap cangkir kopi yang mereka minum.
Ini bukan drama. Ini bukan sekedar pementasan yang ditonton oleh orang-orang dengan lampu menyala di atas panggung, kemudian berakhir disambut tepuk tangan bergemuruh. Bagi saya ini tentang bagaimana kita belajar mengerti apa itu cinta sejati, Kisah cinta yang sebenarnya cukup sederhana namun Papermoon Puppet Theater mempersembahkannya dengan begitu bersahaja. Pertunjukan minim dialog ini justru lebih membangkitkan imajinasi rasa para penonton dalam merasakan bagaimana rasanya cinta yang terpisah karena suatu keadaan yang tidak pernah diinginkan.
Sebuah kebahagiaan besar datang ketika perempuan yang hingga kini Pak Wi tunggu itu hadir bersama-sama menyaksikan pementasan kali itu.
Kini Pak Wi, pelajar Indonesia yang saat ini telah berusia 73 tahun, memilih untuk tidak menikah dan bekerja sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.
Ah ya, kalian bisa membaca kisah bagaimana pementasan ini bisa terjadi di sini: Link
No comments:
Post a Comment