Oleh Riezky Putra
Pada saat pertama kalinya saya menginjak Taman
Ismail Marzuki saya mendapatkan
dua keberuntungan. Pertama saya mendapatkan kumpulan puisi mbeling Remy Sylado
terbitan 2004 yang di Bandung sudah putus asa saya mencarinya dan yang kedua
berhasil menikmati pertunjukan
gratis di teater kecil TIM yang merupakan rangkaian kegiatan Art Summit 2013.
Saya tidak akan membuat review tentang buku
tersebut walau saya tidak tahan untuk mengutip alah satu isinya:
Kalau
Chairil Anwar
binatang Jalang
Di blok apa
tempatnya
di Ragunan?
Malam itu saya pun merasa bagaikan binatang
jalang. Dapat menikmati sebuah perhelatan internasional membuat saya merasa
menjadi binatang yang lepas dari kandang. Acara yang berlangsung dari tanggal 8
hingga 25 Oktober tersebut merupakan yang ke- 7 kalinya semenjak diadakan pada tahun
1995. Diikuti oleh berbagai seniman tari, teater, dan musik dari berbagai
negara. acara tersebut dilangsungkan di 4 kota besar Indonesia. Jakarta, Denpasar,
dan Surakarta. Saya mungkin tidak bisa mengendus ke semua kota tetapi malam itu
Jakarta seakan wilayah kekuasaan saya.
Ada dua pertunjukan malam itu. Yang pertama adalah
pertunjukan musik dari Grup Suarasama dan yang kedua adalah pertunjukan tari dari
Siak Dance Company dan Us Dance Crew. Suarasama adalah grup musik dari Medan, Sumatera Utara yang
album pertama mereka,Fajar di Atas Awan menjadi playlist lagu utama saya hampir
selama sebulan pada tahun lalu. Mengusung konsep world music, mereka menyuguhkan irama gambus yang sering dipadukan
dengan harmoni berbagai alat muik tradisional, baik dari Indonesia maupun dari negara lain.
Malam itu, komposer sekaligus vokalis grup tersebut,Irwansyah bersama istrinya
yang juga merupakan vokalis, Rianthony segera meneduhkan para penonton secara
memukau. Lirik-lirik mereka yang bernadakan petuah dan berima mengigatkan
penonton akan seni pantun tradisional Melayu. Pada lagu mereka yag berjudul Perahu
misalnya saya diingatkan dengan syair karya penyair klasik Aceh, Hamzah
Fansuri.
Sensasi berbeda saya rasakan ketika menonton
pertunjukan kedua yang diselenggarakan seusai jeda selama 20 menit setelah
Suarasama memohon undur diri. Rangkaian tarian kontemporer yang dibawakan secara
energetik oleh 2 hingga 6 orang
pemuda kental dengan aura ritualistik.
Pada tarian pertama dengan tajuk ‘Ghentar’, sejumlah pemuda membawakan
tarian yang diinspirasikan oleh ritual penyembuhan Suku Siak di Riau. Mereka secara
rancak menggoyangkan dan mengayunkan tubuh, melakukan aneka gerakan sulit yang
akhirya ditutup dalam klimaks ketika seakan-akan mereka lepas dari kontrol diri
mereka sendiri, meloncat-loncat dan berguling-guling sakan dalam keadaan trans.
Tangisan pecah dari tempat duduk di depan saya,sebuah keluarga berusaha
menenangkan anak mereka yang tampak ketakutan oleh pertunjukan tersebut. Mereka
keluar ruangan dan tidak pernah kembali lagi untuk melihat tarian kedua.
Tarian kedua masih membawa aura mistik yang
sama tetapi bagi saya bersifat lebih kontemplatif. Dibuka oleh penari yang
hanya menggunakan cawat putih, sempat terjadi kebingungan apakah sosoknya berjenis
kelamin perempuan atau laki-laki. Sosok tersebut secara bergantian menampilkan
gerakan-gerakan yang tegas dan kuat lalu mendadak berubah menjadi luwes dan
kenes layaknya perempuan. Ketika rapalan dalam bahasa Dayak mulai diperdengarkan,sadarlah
saya penari tersebut mungkin berusaha menampilkan sosok Manang Bali, dukun penghubung dunia Dewa-dewa dan
manusia yang dalam tradisi Dayak Iban memiliki gender ambigu.
Sosoknya segera diikuti sembilan penari yang seakan-akan mereson kehadiran dirinya. Mereka mengikuti gerakannya dan seakan-akan mengikuti aba-aba tak terlihat. Keadaan semakin terasa misterius ketika semua penari akhirnya menutup wajahnya dengan aksesoris tradisional Dayak dan mengibar-ngibarkan cawat panjang mereka yang berwarna hijau.Tidak ada tulisan yang bisa menggambarkan pengalaman tersebut.
Tarian tersebut akhirnya ditutup oleh monolog penari
pertama yang kembali menggunakan cawat puth. Tubuhnya disinari dari atas sementara
secara perlahan-lahan penari lainnya mundur ke kegelapan sambi berpegangan
tangan. Lengkaplah pengalaman katarsis saya di teater itu.
Seusai acara, teman-teman saya memutuskan
untuk memakan nasi goreng yang dijual di depan TIM, sementara saya tidur-tiduan
di atas tikar yang dihamparkan untuk pengunjung. Merasa terpenuhi dan setengah
mengantuk,dalam hati saya melakukan apa yang tokoh Woody Allen lakukan di film
Manhattan. Dia menyebutkan apa-apa saja yang membuat kehidupan layak dihidupi. Groucho Marx, Louie
Armstrong, film-film Swedia, Sentimental Education karya Flaubert , Marlon Brando, Frank Sinatra,
lukisan still life karya Cézanne...
tentunya saja saya memiliki daftar saya sendiri. Apa yang saya lihat malam itu termasuk
di antaranya.
No comments:
Post a Comment