.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Monday, October 21, 2013

Suarasama, Vera Siak Dance dan US Dance Crew

Oleh Riezky Putra


Pada saat pertama kalinya saya menginjak Taman Ismail  Marzuki saya mendapatkan dua keberuntungan. Pertama saya mendapatkan kumpulan puisi mbeling Remy Sylado terbitan 2004 yang di Bandung sudah putus asa saya mencarinya dan yang kedua berhasil menikmati  pertunjukan gratis di teater kecil TIM yang merupakan rangkaian kegiatan Art Summit 2013.

Saya tidak akan membuat review tentang buku tersebut walau saya tidak tahan untuk mengutip alah satu isinya:
Kalau
Chairil Anwar
binatang Jalang
Di blok apa
tempatnya
di Ragunan?

Malam itu saya pun merasa bagaikan binatang jalang. Dapat menikmati sebuah perhelatan internasional membuat saya merasa menjadi binatang yang lepas dari kandang. Acara yang berlangsung dari tanggal 8 hingga 25 Oktober tersebut merupakan yang ke- 7 kalinya semenjak diadakan pada tahun 1995. Diikuti oleh berbagai seniman tari, teater, dan musik dari berbagai negara. acara tersebut dilangsungkan di 4 kota besar Indonesia. Jakarta, Denpasar, dan Surakarta. Saya mungkin tidak bisa mengendus ke semua kota tetapi malam itu Jakarta seakan wilayah kekuasaan saya.



Ada dua pertunjukan malam itu. Yang pertama adalah pertunjukan musik dari Grup Suarasama dan yang kedua adalah pertunjukan tari dari Siak Dance Company dan Us Dance Crew.  Suarasama adalah grup musik dari Medan, Sumatera Utara yang album pertama mereka,Fajar di Atas Awan menjadi playlist lagu utama saya hampir selama sebulan pada tahun lalu. Mengusung konsep world music, mereka menyuguhkan irama gambus yang sering dipadukan dengan harmoni berbagai alat muik tradisional, baik dari  Indonesia maupun dari negara lain. Malam itu, komposer sekaligus vokalis grup tersebut,Irwansyah bersama istrinya yang juga merupakan vokalis, Rianthony segera meneduhkan para penonton secara memukau. Lirik-lirik mereka yang bernadakan petuah dan berima mengigatkan penonton akan seni pantun tradisional Melayu. Pada lagu mereka yag berjudul Perahu misalnya saya diingatkan dengan syair karya penyair klasik Aceh, Hamzah Fansuri.


Sensasi berbeda saya rasakan ketika menonton pertunjukan kedua yang diselenggarakan seusai jeda selama 20 menit setelah Suarasama memohon undur diri. Rangkaian tarian kontemporer yang dibawakan secara energetik oleh 2  hingga 6 orang pemuda kental dengan aura ritualistik.  Pada tarian pertama dengan tajuk ‘Ghentar’, sejumlah pemuda membawakan tarian yang diinspirasikan oleh ritual penyembuhan Suku Siak di Riau. Mereka secara rancak menggoyangkan dan mengayunkan tubuh, melakukan aneka gerakan sulit yang akhirya ditutup dalam klimaks ketika seakan-akan mereka lepas dari kontrol diri mereka sendiri, meloncat-loncat dan berguling-guling sakan dalam keadaan trans. Tangisan pecah dari tempat duduk di depan saya,sebuah keluarga berusaha menenangkan anak mereka yang tampak ketakutan oleh pertunjukan tersebut. Mereka keluar ruangan dan tidak pernah kembali lagi untuk melihat tarian kedua.


Tarian kedua masih membawa aura mistik yang sama tetapi bagi saya bersifat lebih kontemplatif. Dibuka oleh penari yang hanya menggunakan cawat putih, sempat terjadi kebingungan apakah sosoknya berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sosok tersebut secara bergantian menampilkan gerakan-gerakan yang tegas dan kuat lalu mendadak berubah menjadi luwes dan kenes layaknya perempuan. Ketika rapalan dalam bahasa Dayak mulai diperdengarkan,sadarlah saya penari tersebut mungkin berusaha menampilkan sosok Manang Bali,  dukun penghubung dunia Dewa-dewa dan manusia yang dalam tradisi Dayak Iban memiliki gender ambigu.


Sosoknya segera diikuti sembilan penari yang seakan-akan mereson kehadiran dirinya. Mereka mengikuti gerakannya dan seakan-akan mengikuti aba-aba tak terlihat. Keadaan semakin terasa misterius ketika semua penari akhirnya menutup wajahnya dengan aksesoris tradisional Dayak dan mengibar-ngibarkan cawat panjang mereka yang berwarna hijau.Tidak ada tulisan yang bisa menggambarkan pengalaman tersebut.


Tarian tersebut akhirnya ditutup oleh monolog penari pertama yang kembali menggunakan cawat puth. Tubuhnya disinari dari atas sementara secara perlahan-lahan penari lainnya mundur ke kegelapan sambi berpegangan tangan. Lengkaplah pengalaman katarsis saya di teater itu.


Seusai acara, teman-teman saya memutuskan untuk memakan nasi goreng yang dijual di depan TIM, sementara saya tidur-tiduan di atas tikar yang dihamparkan untuk pengunjung. Merasa terpenuhi dan setengah mengantuk,dalam hati saya melakukan apa yang tokoh Woody Allen lakukan di film Manhattan. Dia menyebutkan apa-apa saja yang membuat kehidupan layak dihidupi. Groucho Marx, Louie Armstrong, film-film Swedia, Sentimental Education karya Flaubert , Marlon BrandoFrank Sinatra, lukisan still life karya Cézanne... tentunya saja saya memiliki daftar saya sendiri. Apa yang saya lihat malam itu termasuk di antaranya.

No comments:

Post a Comment