.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Monday, September 9, 2013

Mwathirika: Berbicara Lewat Kehilangan

Teks oleh Giany Amorita, Foto oleh Haviz Maulana


Panggung teater Usmar Ismail Marzuki malam itu ditata dengan sederhana namun apik. Terdapat dua rumah di masing-masing sisi yang bersebrangan dengan tata lampu remang-remang. Tidak ada bahasa atau kata-kata yang terucap, namun kisah Mwathirika tersampaikan lewat gerak-gerik ke-lima boneka itu. 

6 September yang lalu, Papermoon Puppet Theatre kembali menggelar Mwathirika, sebuah kisah tentang korban yang kehilangan keluarganya di tahun 1965. Pertunjukan ini digelar dalam rangka Wayang World Puppet Carnival 2013 dari tanggal 1 – 8 September 2013 yang terbagi menjadi beberapa titik lokasi di ibukota. 



Panggung yang sederhana, hanya berlatarkan dua rumah, mampu membawa emosi penonton ketika mengisahkan Mwathirika. Rumah pertama dihuni oleh Baba, seorang bapak yang kehilangan satu tangan dan memiliki dua anak yakni Tupu dan Moyo. Tupu adalah seorang anak perempuan manja sedangkan Moyo si sulung yang suka jahil tetapi sangat menyayangi adiknya. Rumah kedua dihuni oleh Haki dan tinggal bersama anaknya Lakuna yang kehilangan satu kakinya sehingga harus duduk di kursi roda. Kehidupan kedua keluarga tersebut awalnya harmonis, sampai ketika terdapat simbol segitiga merah di rumah keluarga Baba. Simbol itu pula yang menghilangkan Baba serta Moyo, meninggalkan Tupu yang polos dan belum paham apa yang terjadi dengan keluarganya. Haki pun memilih bersikap aman dan menjauh dari keluarga Baba.


Cerita ini mengingatkan penonton ke beberapa tahun silam ketika seseorang dikaitkan dengan simbol tertentu maka akan dikucilkan atau lebih parahnya lagi dihilangkan jejaknya. Namun bercerita soal sejarah, Papermoon Puppet tidak menampilkan kisah yang memunculkan persepsi untuk menyudutkan pelaku. Pertunjukkan ini murni menceritakan dari sisi humanis keluarga korban. Seorang Baba yang berwibawa dan pekerja keras harus meninggalkan kedua anaknya  ketika ditangkap, Tupu dan Moyo yang diam dan tidak melawan ketika melepaskan Baba. Tetapi mereka diam yang bersuara, diam yang menyakitkan karena kehilangan. Lalu dari sisi Haki yang melarang Lakuna ketika menghibur Tupu dengan kotak musiknya dan Tupu yang membunyikan suara dengan pluit sebagai simbol suara memanggil Moyo yang hilang. Penonton dibuat larut dan ikut merasakan getirnya kehilangan, bukan perasaan belas kasihan. Selain itu juga nyanyian pluit dari Tupu memberikan sudut pandang baru bahwa tidak perlu bising untuk berbicara, karena kesepian dan kehilangan bisa dirasakan lewat suara.
Keunikan dari pentas kali ini yakni tidak adanya sosok ibu. Menurut salah satu pemain, sosok ibu biasanya dianggap sebagai penenang bagi siapapun yang dilanda kesulitan. Tetapi Papermoon Puppet Theatre ingin menghadirkan situasi bahwa Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Laktuna bisa melewatinya tanpa harus ada sosok ibu.



Pertunjukkan ini juga membuat penonton berkaca bahwa ada hal-hal yang harus dimunculkan dalam hidup yakni kebaikan dan empati. Di akhir pentas, Ria, sebagai Artistic Directors mengungkapkan harapannya agar tidak akan ada lagi peristiwa serupa dimanapun. Kisah ini hanya sebagian kecil yang merepresentasikan tentang kehilangan. Dalam karakter Tupu, Ria seolah ingin berbicara bahwa walaupun Tupu kehilangan Baba dan Moyo, Tupu tetap harus menjalani hidupnya. “Semua orang pernah merasa kehilangan dan kesepian, tetapi hidup harus terus berjalan”, tutupnya dengan manis.

2013

No comments:

Post a Comment