Teks oleh Giany Amorita, Foto oleh Haviz Maulana
Panggung teater Usmar Ismail Marzuki malam itu ditata dengan sederhana namun apik. Terdapat dua
rumah di masing-masing sisi yang bersebrangan dengan tata lampu remang-remang.
Tidak ada bahasa atau kata-kata yang terucap, namun kisah Mwathirika tersampaikan lewat gerak-gerik
ke-lima boneka itu.
6 September yang lalu, Papermoon Puppet Theatre kembali menggelar Mwathirika, sebuah kisah tentang korban yang kehilangan keluarganya di tahun 1965. Pertunjukan ini digelar dalam rangka Wayang World Puppet Carnival 2013 dari tanggal 1 – 8 September 2013 yang terbagi menjadi beberapa titik lokasi di ibukota.
Panggung yang sederhana, hanya berlatarkan dua rumah, mampu membawa
emosi penonton ketika mengisahkan Mwathirika. Rumah pertama dihuni oleh Baba,
seorang bapak yang kehilangan satu tangan dan memiliki dua anak yakni Tupu dan
Moyo. Tupu adalah seorang anak perempuan manja sedangkan Moyo si sulung yang
suka jahil tetapi sangat menyayangi adiknya. Rumah kedua dihuni oleh Haki dan
tinggal bersama anaknya Lakuna yang kehilangan satu kakinya sehingga harus
duduk di kursi roda. Kehidupan kedua keluarga tersebut awalnya harmonis, sampai
ketika terdapat simbol segitiga merah di rumah keluarga Baba. Simbol itu pula
yang menghilangkan Baba serta Moyo, meninggalkan Tupu yang polos dan belum
paham apa yang terjadi dengan keluarganya. Haki pun memilih bersikap aman dan
menjauh dari keluarga Baba.
Cerita ini mengingatkan penonton ke beberapa tahun silam ketika
seseorang dikaitkan dengan simbol tertentu maka akan dikucilkan atau lebih
parahnya lagi dihilangkan jejaknya. Namun bercerita soal sejarah, Papermoon
Puppet tidak menampilkan kisah yang memunculkan persepsi untuk menyudutkan
pelaku. Pertunjukkan ini murni menceritakan dari sisi humanis keluarga korban.
Seorang Baba yang berwibawa dan pekerja keras harus meninggalkan kedua
anaknya ketika ditangkap, Tupu dan Moyo
yang diam dan tidak melawan ketika melepaskan Baba. Tetapi mereka diam yang
bersuara, diam yang menyakitkan karena kehilangan. Lalu dari sisi Haki yang
melarang Lakuna ketika menghibur Tupu dengan kotak musiknya dan Tupu yang
membunyikan suara dengan pluit sebagai simbol suara memanggil Moyo yang hilang.
Penonton dibuat larut dan ikut merasakan getirnya kehilangan, bukan perasaan
belas kasihan. Selain itu juga nyanyian pluit dari Tupu memberikan sudut
pandang baru bahwa tidak perlu bising untuk berbicara, karena kesepian dan
kehilangan bisa dirasakan lewat suara.
Keunikan dari pentas kali ini yakni tidak adanya sosok ibu. Menurut
salah satu pemain, sosok ibu biasanya dianggap sebagai penenang bagi siapapun
yang dilanda kesulitan. Tetapi Papermoon Puppet Theatre ingin menghadirkan
situasi bahwa Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Laktuna bisa melewatinya tanpa harus
ada sosok ibu.
Pertunjukkan ini juga membuat penonton berkaca bahwa ada hal-hal yang
harus dimunculkan dalam hidup yakni kebaikan dan empati. Di akhir pentas, Ria,
sebagai Artistic Directors
mengungkapkan harapannya agar tidak akan ada lagi peristiwa serupa dimanapun.
Kisah ini hanya sebagian kecil yang merepresentasikan tentang kehilangan. Dalam
karakter Tupu, Ria seolah ingin berbicara bahwa walaupun Tupu kehilangan Baba
dan Moyo, Tupu tetap harus menjalani hidupnya. “Semua orang pernah merasa
kehilangan dan kesepian, tetapi hidup harus terus berjalan”, tutupnya dengan
manis.
2013
No comments:
Post a Comment