.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Wednesday, September 4, 2013

Menjelajah ARKIPEL 2013

oleh: Jona

Dokumenter itu gak hanya wawancara - rekam - sewa narator - kelar. Dokumenter dapat berupa horor, montase, animasi, lukisan impresionis, bahkan fiksi.” 

- Bunga Siagian, salah satu kurator di ARKIPEL


Tahun ini Forum Lenteng menghadirkan sebuah festival baru yang mengkhususkan diri pada perayaan film dokumenter serta film-film dengan ragam inovasi beraroma eksperimen audio-visual. Sejak ‘kematian’ JIFFest, festival lokal bertaraf internasional memang seakan kehilangan gaungnya. Ditambah dengan keasingan pengetahuan tentang ranah film dokumenter di mata mayoritas masyarakat, festival baru ini wajar langsung tampil mencolok guna mendobrak stagnasi serta memberi sedikit kesegaran terhadap rasa haus akan inovasi artistik dan estetik terutama dalam konteks sinema.

Mengapa festival baru bernama ARKIPEL ini berpotensi besar? Apa saja memangnya indikator kesegaran yang ARKIPEL tawarkan?

Disorder-Xianshi Shi Guoqu de Weilai (2009)







Satu tema menarik yang saya potret selama menghadiri seluruh program ARKIPEL berbentuk pertanyaan berulang :

Apakah kenyataan itu? Ilusi yang terekonstruksi secara rinci dan terlatih? Imaji psikologis yang ingin sekali diyakini subjek tertentu? Atau sekedar kepolosan, apa adanya?

Berbagai upaya kemudian muncul guna mencoba mencari penjelasan lebih dalam. Salah satu upaya menonjol hadir dari sisi ‘kepengarangan’. Dokumenter pada intinya berusaha menangkap kenyataan secara gamblang, namun kehadiran fiksi melalui kepengarangan justru mampu merekam kenyataan lebih dalam dan lebih dekat sambil tetap mempertanyakan makna realitas dalam level yang lebih tinggi.

Teori tersebut memang menyisakan ruang bagi sanggahan, terutama dengan munculnya opini bahwa ‘tak ada kebenaran murni selain kebenaran filmis’ (ARKIPEL 2013 menampilkan karya Jean Rouch mewakili kepengarangan ini, dan opini di atas adalah opini pribadi beliau). Kepekaan pembuat film menjadi sangat krusial nilainya dalam usaha menyibak realita di balik yang terlihat oleh mata lewat pemakaian fiksi. Sejenak hal ini membuat saya teringat akan kata-kata seorang filmmaker Jepang mengenai ‘tingkatan kenyataan sehari-hari’ :

There are many kinds of realities of our lives and the reality has many layers. It was made up by numerous layers and documentary making is like peeling off those layers one by one. I don’t think they’ll be peeling off by themselves, and after you peel the first one you can see another layer beneath it, and then we have to come up with another method to peel it off.  - Kazuo Hara –

Namun terlepas dari hal sepakat atau tidak dengan opini Jean Rouch, mengarang dokumenter terdengar sangat menarik dan menantang, bukan?

Suitcase Love and Shame by Jane Gillooly

Salah satu film dokumenter peraih penghargaan di ARKIPEL 2013 adalah Suitcase of Love and Shame. Pembuatnya, Jane Gillooy, mengumpulkan audio footage milik sepasang kekasih yang tengah bermesraan di tahun 60-an dari sumber tertentu di internet, serta mencakup rentang masa sejak pra ML hingga obrolan pasca ML.

Konten audio tersebut cukup gamblang, apalagi bila dikaitkan dengan konteks norma sosial pada waktu itu serta batas-batas wilayah privat dan publik yang ‘berlaku’. Sah-sah saja menjadikannya sebagai satu-satunya materi pembentukan film dokumenter, namun Jane Gillooy memilih tak berhenti di titik itu. Ia mengeksplorasi bentuk-bentuk visual yang sesuai atau mampu merepresentasikan peristiwa yang kira-kira terjadi dari bunyi-bunyi tersebut. Rekonstruksi yang ia pilih memadukan still images dengan moving images, membentuk sebuah narasi independen tentang perselingkuhan. Tentang ketabuan.

Rekonstruksi visual ala Jane Gillooy di atas adalah sebuah hasil kepengarangan.

***

Pada program kuratorial bertajuk “Menggugat Konstruksi Sejarah”, sang kurator, Otty Widasari mengingat kembali jawaban Jean-Gabriel Périot atas salah satu pertanyaan tentang apakah ia selalu memakai kekuatan arsip dalam proses berkarya :
It could be, but I never believe in the archives. Because the archives is also a construction.
           
Dari sini saya bisa menarik kesimpulan bahwa tak ada sistem pengarsipan yang netral kepentingan, termasuk kepentingan sang pengarsip atau kepentingan sang pereka ulang arsip atau bahkan kepentingan pembuat materi yang diarsipkan.

Kalau begitu tidak ada arsip yang jujur, dong?

Mungkin benar adanya. Seperti proses restorasi film, tak ada teknologi yang sanggup mengembalikan ‘arsip beku’ suatu film secara 100%. Namun orang-orang yang bergiat dalam proses restorasi tetap berusaha mengejar pengembalian di level 95%. Saya rasa, pendekatan yang sama berlaku pula dalam hal pengarsipan film.

Arsip yang baik dan seobjektif mungkin bakal sangat membantu mempelajari sejarah dengan cara baru, entah menggugat hingga mereka ulang atau sekedar bertanya akan ihwal kebenaran masa lampau demi menentukan posisi masa kini. Di ARKIPEL 2013, saya merasakan dorongan kuat sebuah argumen bahwa film dokumenter harus semakin menegaskan fungsinya menjembatani past and present serta menjadi medium refleksi guna mengkritisi perkembangan peradaban lintas identitas.

Memakai arsip atau tidak dalam proses berkarya adalah pilihan masing-masing individu. Namun bila arsip yang dipakai sahih sebagai hasil rekonstruksi, mungkin arsip dimaksud telah lahir sebagai hasil kepengarangan. Dari sini muncul pertanyaan baru : apa yang kira-kira bakal terjadi bila arsip hasil rekonstruksi itu menjadi fondasi utama perwujudan sebuah karya baru?

Mengarang berdasarkan sesuatu yang dikarang untuk menyibak kenyataan. Terdengar makin menarik dan makin menantang?

Petition (Zhao Liang, 2009)
Selain soal kepengarangan yang sangat provokatif, ARKIPEL menurut saya juga sukses menampilkan potret disintegrasi sosial pada konteks negara. Pandangan umum semacam ‘lihatlah negara dari ibukotanya’ ditelanjangi, kemudian mendorong refleksi diri untuk mempertanyakan ulang pandangan tersebut. Bagi saya, seharusnya negara dilihat dari kondisi seluruh wilayah teritorialnya dalam segala bidang, tidak terjerumus dalam pola pikir sempit yang mensejahterakan ibukota semata.

Dongeng Rangkas (2011) serta Naga Yang Berjalan Di Atas Air (2012) menyodorkan pernyataan pelik : keterpinggiran membatasi gejolak evolusi antara kondisi sosial ibukota dengan daerah pinggiran + pendobrakan lingkungan sosial sehari-hari atas stigma universal terhadap identitas tertentu.

Dua karya Zhao Liang, filmmaker China turut menyedot perhatian saya. City Scene (2004) ‘menangis dalam hati’ tatkala menampilkan evolusi lahan hijau menjadi bangunan berlapis baja nan gersang, sementara Petition (2009) merekam ‘tangisan sedu’ atas janji yang tak terpenuhi sebelum hadirnya penampilan megah dari ego sebuah negara.

Ini semua nyata. Namun apakah ini juga bagian dari ilusi yang terekonstruksi?

Kiri: 16. Tears of Inge (2013), Kanan: Hermeneutics

Sebagai penutup penjelajahan saya di ARKIPEL 2013, dua buah film dari sesi International Competition menarik sekali untuk diangkat guna mengkatalis beberapa kesimpulan penting.

Tears of Inge dari Alisi Telengut berisi cerita sederhana tentang relasi intim antara manusia dan unta di Mongolia. Keintiman itu tampil lewat ekspresi emosional yang terbungkus teknologi animatif warna-warni, mirip dengan gaya lukisan impressionis. Saya kira semua juga tahu kalau lukisan impressionis tak terjadi di dunia nyata, namun bukan berarti ia tak mengandung kenyataan.


Hermeneutics milik Alexei Dmitriev merayakan letusan meriam yang menembakkan kembang api ke udara. Saya tergelitik hendak bertanya apakah semua manusia yang kelihatan dalam semesta film tersebut menyadari sumber keambiguan respon mereka tatkala berbagai jenis kembang api meledak bahagia di langit malam.

No comments:

Post a Comment