oleh: Jona
“Dokumenter itu gak hanya wawancara - rekam - sewa narator - kelar. Dokumenter dapat berupa horor, montase, animasi, lukisan impresionis, bahkan fiksi.”
- Bunga Siagian, salah satu kurator di ARKIPEL
Tahun ini Forum Lenteng menghadirkan
sebuah festival baru yang mengkhususkan diri pada perayaan film dokumenter serta
film-film dengan ragam inovasi beraroma eksperimen audio-visual. Sejak
‘kematian’ JIFFest, festival lokal bertaraf internasional memang seakan
kehilangan gaungnya. Ditambah dengan keasingan pengetahuan tentang ranah film
dokumenter di mata mayoritas masyarakat, festival baru ini wajar langsung tampil
mencolok guna mendobrak stagnasi serta memberi sedikit kesegaran terhadap rasa
haus akan inovasi artistik dan estetik terutama dalam konteks sinema.
Mengapa festival baru bernama ARKIPEL
ini berpotensi besar? Apa saja memangnya indikator kesegaran yang ARKIPEL
tawarkan?
Disorder-Xianshi Shi Guoqu de Weilai (2009) |
Satu tema menarik yang saya potret selama menghadiri seluruh program ARKIPEL berbentuk pertanyaan berulang :
“Apakah
kenyataan itu? Ilusi yang terekonstruksi secara rinci dan terlatih? Imaji
psikologis yang ingin sekali diyakini subjek tertentu? Atau sekedar kepolosan,
apa adanya?”
Berbagai upaya kemudian muncul guna
mencoba mencari penjelasan lebih dalam. Salah satu upaya menonjol hadir dari
sisi ‘kepengarangan’. Dokumenter pada intinya berusaha menangkap kenyataan
secara gamblang, namun kehadiran fiksi melalui kepengarangan justru mampu
merekam kenyataan lebih dalam dan lebih dekat sambil tetap mempertanyakan makna
realitas dalam level yang lebih tinggi.
Teori tersebut memang menyisakan ruang
bagi sanggahan, terutama dengan munculnya opini bahwa ‘tak ada kebenaran murni
selain kebenaran filmis’ (ARKIPEL 2013 menampilkan karya Jean Rouch mewakili
kepengarangan ini, dan opini di atas adalah opini pribadi beliau). Kepekaan
pembuat film menjadi sangat krusial nilainya dalam usaha menyibak realita di
balik yang terlihat oleh mata lewat pemakaian fiksi. Sejenak hal ini membuat saya
teringat akan kata-kata seorang filmmaker
Jepang mengenai ‘tingkatan kenyataan sehari-hari’ :
“There
are many kinds of realities of our lives and the reality has many layers. It
was made up by numerous layers and documentary making is like peeling off those
layers one by one. I don’t think they’ll be peeling off by themselves, and after
you peel the first one you can see another layer beneath it, and then we have
to come up with another method to peel it off.” - Kazuo Hara –
Namun terlepas dari hal sepakat atau
tidak dengan opini Jean Rouch, mengarang dokumenter terdengar sangat menarik
dan menantang, bukan?
Suitcase Love and Shame by Jane Gillooly |
Salah satu film dokumenter peraih
penghargaan di ARKIPEL 2013 adalah Suitcase
of Love and Shame. Pembuatnya, Jane Gillooy, mengumpulkan audio footage milik sepasang kekasih
yang tengah bermesraan di tahun 60-an dari sumber tertentu di internet, serta
mencakup rentang masa sejak pra ML hingga obrolan pasca ML.
Konten audio tersebut cukup gamblang,
apalagi bila dikaitkan dengan konteks norma sosial pada waktu itu serta batas-batas
wilayah privat dan publik yang ‘berlaku’. Sah-sah saja menjadikannya sebagai
satu-satunya materi pembentukan film dokumenter, namun Jane Gillooy memilih tak
berhenti di titik itu. Ia mengeksplorasi bentuk-bentuk visual yang sesuai atau
mampu merepresentasikan peristiwa yang kira-kira terjadi dari bunyi-bunyi
tersebut. Rekonstruksi yang ia pilih memadukan still images dengan moving
images, membentuk sebuah narasi independen tentang perselingkuhan. Tentang
ketabuan.
Rekonstruksi visual ala Jane Gillooy di
atas adalah sebuah hasil kepengarangan.
***
Pada program kuratorial bertajuk
“Menggugat Konstruksi Sejarah”, sang kurator, Otty Widasari mengingat kembali
jawaban Jean-Gabriel Périot atas salah satu pertanyaan tentang apakah ia selalu
memakai kekuatan arsip dalam proses berkarya :
“It
could be, but I never believe in the archives. Because the archives is also a
construction.”
Dari sini saya bisa menarik kesimpulan
bahwa tak ada sistem pengarsipan yang netral kepentingan, termasuk kepentingan
sang pengarsip atau kepentingan sang pereka ulang arsip atau bahkan kepentingan
pembuat materi yang diarsipkan.
Kalau begitu tidak ada arsip yang jujur,
dong?
Mungkin benar adanya. Seperti proses
restorasi film, tak ada teknologi yang sanggup mengembalikan ‘arsip beku’ suatu
film secara 100%. Namun orang-orang yang bergiat dalam proses restorasi tetap
berusaha mengejar pengembalian di level 95%. Saya rasa, pendekatan yang sama
berlaku pula dalam hal pengarsipan film.
Arsip yang baik dan seobjektif mungkin bakal
sangat membantu mempelajari sejarah dengan cara baru, entah menggugat hingga
mereka ulang atau sekedar bertanya akan ihwal kebenaran masa lampau demi
menentukan posisi masa kini. Di ARKIPEL 2013, saya merasakan dorongan kuat
sebuah argumen bahwa film dokumenter harus semakin menegaskan fungsinya
menjembatani past and present serta
menjadi medium refleksi guna mengkritisi perkembangan peradaban lintas
identitas.
Memakai arsip atau tidak dalam proses
berkarya adalah pilihan masing-masing individu. Namun bila arsip yang dipakai
sahih sebagai hasil rekonstruksi, mungkin arsip dimaksud telah lahir sebagai
hasil kepengarangan. Dari sini muncul pertanyaan baru : apa yang kira-kira
bakal terjadi bila arsip hasil rekonstruksi itu menjadi fondasi utama perwujudan
sebuah karya baru?
Mengarang berdasarkan sesuatu yang
dikarang untuk menyibak kenyataan. Terdengar makin menarik dan makin menantang?
Petition (Zhao Liang, 2009) |
Selain soal kepengarangan yang sangat
provokatif, ARKIPEL menurut saya juga sukses menampilkan potret disintegrasi
sosial pada konteks negara. Pandangan umum semacam ‘lihatlah negara dari
ibukotanya’ ditelanjangi, kemudian mendorong refleksi diri untuk mempertanyakan
ulang pandangan tersebut. Bagi saya, seharusnya negara dilihat dari kondisi
seluruh wilayah teritorialnya dalam segala bidang, tidak terjerumus dalam pola
pikir sempit yang mensejahterakan ibukota semata.
Dongeng
Rangkas (2011) serta Naga Yang Berjalan Di Atas Air (2012)
menyodorkan pernyataan pelik : keterpinggiran membatasi gejolak evolusi antara
kondisi sosial ibukota dengan daerah pinggiran + pendobrakan lingkungan sosial
sehari-hari atas stigma universal terhadap identitas tertentu.
Dua karya Zhao Liang, filmmaker China
turut menyedot perhatian saya. City Scene
(2004) ‘menangis dalam hati’ tatkala menampilkan evolusi lahan hijau menjadi
bangunan berlapis baja nan gersang, sementara Petition (2009) merekam ‘tangisan sedu’ atas janji yang tak
terpenuhi sebelum hadirnya penampilan megah dari ego sebuah negara.
Ini semua nyata. Namun apakah ini juga
bagian dari ilusi yang terekonstruksi?
Kiri: 16. Tears of Inge (2013), Kanan: Hermeneutics |
Sebagai penutup penjelajahan saya di
ARKIPEL 2013, dua buah film dari sesi International
Competition menarik sekali untuk diangkat guna mengkatalis beberapa
kesimpulan penting.
Tears
of Inge dari Alisi Telengut berisi
cerita sederhana tentang relasi intim antara manusia dan unta di Mongolia.
Keintiman itu tampil lewat ekspresi emosional yang terbungkus teknologi
animatif warna-warni, mirip dengan gaya lukisan impressionis. Saya kira semua
juga tahu kalau lukisan impressionis tak terjadi di dunia nyata, namun bukan
berarti ia tak mengandung kenyataan.
Hermeneutics milik Alexei Dmitriev merayakan letusan meriam yang
menembakkan kembang api ke udara. Saya tergelitik hendak bertanya apakah semua
manusia yang kelihatan dalam semesta film tersebut menyadari sumber keambiguan
respon mereka tatkala berbagai jenis kembang api meledak bahagia di langit
malam.
No comments:
Post a Comment