Naskah : Sutansyah Marahakim, Ilustrasi : Fiona Priscilla Tambunan
Adaptasi Twitter : Anissa Rahma Sukardi
Adaptasi Twitter : Anissa Rahma Sukardi
Pada akhirnya setiap perjalanan selalu berangkat dari kasih
sayang. Semua selalu berdoa dan bercerita tentang gigitan terlarang dari
manusia pertama. Tentang ular sebagai simbol, tentang surga yang hilang dan
jatuhnya makhluk kesayangan. Namun pernahkah kalian bayangkan perjuangan Adam
mencari Hawa di dunia?
Beberapa menafsirkan kisah mereka sebagai pengkhianatan terhadap
Tuhan, keberhasilan setan dalam bisikan. Bukankah kisah mereka juga tentang
pengorbanan? Tentang Adam yang rela melepaskan umur abadi demi sebuah pinta
dari wanita yang ia cintai.
Maka pada akhirnya setiap kehilangan akan berakhir pada hati yang
tak kuasa namun membangkang.
Pada mereka yang membicarakan di telinga setiap orang. Mereka yang
berkata pada seluruh warga desa, pada satu sama lain bahwa Chiandra telah diculik para prajurit bulan. Aku menatap mereka dengan
tidak percaya. Kuhujamkan tinju ku ke
salah satu dari mereka yang berani berkata bahwa wanita yang kucinta telah
hilang ditelan lembah cahaya. Dan ia takkan kembali ke desa ini selamanya.
Sebuah fakta yang tak akan pernah aku terima.
Ada tepukan
riuh tanpa suara, ada bahagia dan tenang dari wajah kedua orang tua Chiandra. Desa kami telah lama memimpikan adanya Dewi yang tinggal di
langit malam. Berdiam di kerajaan tak berbatas detik atau ruang, selalu luas
dan sempit setiap saat. Kerajaan gemerlap putih yang melayang di langit, yang
tinggi, yang bagi hanya tertangkap manusia sebagai sebuah lingkar sempurna.
Karena singgasana Sang
Dewi bukanlah untuk mata kami, rakyat jelata. Karena istananya bersinar terlalu
terang, hingga mata kami hanya melihatnya sebagai rembulan di kala malam.
Malam yang
membawa pergi Chiandra.
Seberapa kuat pun
aku berteriak pada gelap, seberapa keras kulawan setiap kata kata Ayah, Bunda,
dan seluruh gubuk tetangga - yang atapnya memancarkan desas desus mati nya Chiandra,
seorang manusia yang lemah tak mampu melawan alam yang dijawab percaya sebuah
umat. Aku begitu marah bahkan dibuang oleh para sahabat. Tentu itu bukan maksud
mereka, namun tentu tidak ada yang mau menjadi teman seseorang yang melontarkan
caci pada permaisuri. Mereka mengira aku telah terbutakan oleh kehilangan dan
ratap. Aku terus terdiam dan hanya mampu bersembunyi dibalik pintu rumah, dalam
rasa iba keluarga yang mau tidak mau harus menerima. "Berhentilah menjadi seperti ini, kembalilah!" satu per
satu dari kerabat dan sahabat memberi peluk terakhirnya sambil berseru hal yang
kurang lebih serupa.
Nyatanya aku
tidak pernah pergi. Terjerat rantai tak terlihat yang mereka sebut sebagai
gravitasi. Tak mampu melayang, Seperti halnya seluruh makhluk di dunia. Aku
tidak hilang, Aku ada disini. Sebuah keadaan yang begitu aku benci.
Hingga akhirnya
tatapanku kualihkan dari wajah warga desa yang menjalani hari seperti biasa.
Sungguh tak berguna untuk terus marah pada kerumunan yang kebal dan mati rasa.
Menuju belantara
hitam sang langit, yang setelah belasan hari hanya kupandangi dalam diam,
kutantang meski tak lagi dengan teriakan. Mengarunginya hanya menjadi mitos,
‘sebuah pelayaran mimpi’, begitu kata Kepala Desa. Namun tentu aku tidak
percaya, atau mungkin tidak peduli. Tujuh helai daun Edock, yang dihancurkan
dan dibakar di tungku tanah liat berbentuk sampan patah. ‘Karena bahkan dengan tujuh kegigihan tertinggi seorang manusia,
perahumu akan terobek-robek oleh rahang angkasa’. Kemudian sisa dari daun
itu, yang sekarang hanya bubuk legam berbau harum, ditorehkan ke dalam punggung
dengan belati biru metalik, membentuk dua mata burung hantu. ‘Namun gigih itulah satu satunya bekalmu. Yang harus kau miliki
selain itu bukanlah dari diri, namun sihir malam sebagai saksi mata. agar
langit berhenti menyerangmu, kurobek tubuhmu terlebih dahulu dengan pisaunya’
‘dan terbanglah’
Aku bisa melihat
sayap-sayap bermunculan dari kedua mata burung hantu di punggungku. Tidak ada
angin. Hanya ada air mata kedua orang tua dan belasan saudara serta warga desa
yang mengutukku sebagai calon pembawa malapetaka.
Langit akan
runtuh kata mereka. Peperanganku dengan penculik Chiandra akan berakhir
bencana. Namun aku terbang. Terus seperti itu.
Hingga hanya
hanya gulita yang memeluk sekelilingku.
Hingga kata kata
terakhir sang kepala desa entah mengapa terdengar di telinga.
‘Pelayaran ini harus kau mulai dengan tenggelam’
Sepasang sayapku
pun meninggalkanku, berubah menjadi alap-alap.
--
*Serial Taraksa adalah kisah yang terinspirasi dari petilan #nokturna. Digagas pertama kali oleh Majalah EPIK, cerita ini akan diangkat sebagai naskah seni pertujukan : Teater EPIK vol. 5. Cerita bersambung ini akan terus berlangsung sampai mendekati waktu pertunjukan. Hingga saat itu, kami akan turut memediasi cerita ini. Juga silakan ikuti linimasa @taraksa_ untuk mengetahui lebih jauh pergulatan diri seorang Taraksa. Mari nikmati rangkaian cerita Taraksa ini, selamat membaca!
--
No comments:
Post a Comment