Naskah :
Sutansyah Marahakim, Ilustrasi : Wicky Syailendra, Adaptasi Twitter : Anissa Rahma Sukardi
Kelopak mata yang kubuka seolah tidak
berpengaruh apa-apa pada jumlah cahaya yang retina terima.
Tidak ada apa-apa. Itu yang kukira. Kemudian pikiranku
mulai berputar dan menanyakan apakah arti tidak ada apa-apa. Bukankah ada
berarti terasa. Terukur secara zat, dan kemudian kepalaku mulai berpindah pada
pertanyaan-pertanyaan mengenai makna kasat mata.
Tanpa mata, dunia ini seolah tidak ada.
Setelah sekian lama aku mencoba memahami apa
yang terjadi, satu hal yang kusadari adalah buliran pasir di kaki ku terasa
terlalu besar untuk kusebut pasir dan tetap terlalu rapuh untuk kusebut
kerikil. Beberapa diantaranya merangkak ke pergelangan, yang lain masih tetap
terkulai mati seperti sebagaimana seharusnya bulir pasir. Namun aku kira ini
hanya fase awal dari inderaku yang memberontak dari tidur.
Bukan hanya kulit pergelangan kakiku yang
mencoba menipu, namun telinga ini pun mulai menggaungkan nyanyian merdu tak
selesai, berganti-gantian datang dan menyelesaikan satu sama lain. Bulu kudukku
merinding ketika punggungku mengucurkan keringat sembari bergetar karena
menggigil. Aku mencoba berkata kata namun suara yang kukeluarkan sama sekali
berbeda dengan apa yang kuharapkan. Satu demi satu perangkat tangkap-duniaku
mengamuk tak terkontrol, mereka membabi buta meninggalkan akal sehat, seolah
marah akan diskriminasi yang kulakukan selama bertahun-tahun pada mereka, lelah
menjadi anak tiri dari bola mata. Hingga setelah berjam jam aku kehilangan
pegangan akan apa yang nyata dan pura-pura, mereka hentikan protes serta
demonstrasi.
Yang aku bayangkan aku meringkuk di sebuah
pojok yang bukan pojok, dikurung dalam kegelapan menakutkan. Sungguh ketika
semua hal yang terjadi sama sekali tak terjawab alasan serta pasti, maka kita
hanya bisa menyerah pada balada kegelisahan yang panik. Dan disana aku berdiam;
aku rasa itu yang tubuhku lakukan meski dalam pikiran, keempat inderaku masih
riuh melakukan makar sepihak, menyiksaku dalam tiap detik yang kuhitung dari
ketukan tetes air yang jatuh.
Tetes air.
Aku tersadar bahwa semenjak pertama aku jatuh
ke tempat ini, tetap ada ketukan tetes air.
Lalu hening.
Lalu aku merasakan sesuatu yang besar,
bersiap-siap untuk mengarungi realita yang sama sekali berbeda.
Aku dengar batu kerikil yang jatuh
menggelinding di sebelah kiriku. Aku mendengar namun bisa kulihat jatuhnya
dengan amat jelas meski komposisi warna dan bentuknya sama sekali berbeda.
Kerikil itu tidak berwarna selayaknya kerikil, tidak berbentuk seperti kerikil,
juga sama sekali tidak bergulir jatuh sebagaimana kerikil jatuh. Aku tahu itu
kerikil. Seperti aku tahu dinding berlumut abu abu mengelilingi seluruh tempat
ini dari harumnya, juga air terjun setinggi 20 meter di atas kepalaku yang
kucicipi ketika tetesan air dari stalagnit gua menelusup ke bibir. Aku melihat.
Tapi kali ini tidak dengan bantuan cahaya.
Perlahan-lahan mulai terasa arti dari segala
penipuan para indera. Mereka tidak mengkhianatiku, paling tidak niatnya tidak
seperti itu. Ini adalah sebuah penyesuaian diri besar-besaran, sebuah persiapan
akan apa yang akan datang. Beberapa siap lebih cepat, sisanya harus melewati
pergulatan tanpa akal yang nyaris menghancurkanku. Hanya hampir.
Salah satu indera yang tidak menipuku
semenjak awal adalah kulit yang mengelilingi pergelangan. Aku tidak pernah
salah. Bulir-bulir yang kuinjak memang bukan pasir dan bukan kerikil. Beberapa
diantaranya merayapi kaki karena masih menyisakan sedikit nyawa, masih mencoba
bergerak meski tak menyala. Seratus juta atau lebih kunang kunang tanpa cahaya
tergeletak, menghampar di sekujur gua ini. mereka tak bergerak dan terinjak
injak oleh makhluk pertama di tempat ini semenjak entah kapan. Mereka tidak
tidur, mereka mati. Sebuah kuburan raksasa dari salah satu makhluk suci desaku,
Sang Khadyota.
‘Dari
yang menyala akan mati di lembah gulita. Bangkit kemudian aku tanya; manusia
dan perjuangan. Khadyota dan pembimbing malam. Sang kelinci putih bersinar
lebih gelap demi reruntuhan dan penyelamatan. Kembali. Kembali. Kembali,
Berhentilah terlena (kemudian) pahami bahwa melihat tak selalu berarti tahu’
Jadi ini awal dari perjalananku. Sebuah
tempat yang mati. Yang sepenuhnya gelap namun justru mengajariku untuk melihat.
Aku pun sekarang dengan jelas membangun sebuah dunia yang sama sekali berbeda.
Semua bentuk yang tidak seharusnya, warna-warna salah tempat, gerakan gerakan
tak logis dan mungkin seluruh langit akan terus menguak ‘kesalahan’ ini terus
menerus.
Namun salah-benar, kata kepala desa, harus
perlahan kulepaskan. Standar itu semua milik dunia fana, dan ini bukanlah
perjalanan mengarungi salah satunya.
Sekarang aku mengerti mengapa kepala desa
membiarkan kedua sayap meninggalkan punggungku. Orientasi arah dunia ku
berbalik berkat kejatuhan ini. Atas menjadi depan dan bawah menjadi belakang.
Maka perjalanan langitku pun dimulai tepat ketika salah satu kunang-kunang
mulai menyala dan terbang. Tidak begitu dengan diriku. Aku tidak butuh terbang
untuk menuju langit. Yang aku lakukan adalah meniti langkah demi langkah.
Aku
berjalan.
--
No comments:
Post a Comment