Aku terjebak dalam tubuh ini, tubuh
yang aku rasa tidak bernalar, tapi, tanpa mereka tahu, aku punya perasaan, dan
itulah sumber imajinasiku, tidak melalui otak yang penuh kerumitan itu, inilah
karyaku, fiksiku.
Mereka menuliskannya sebagai
harianku, sebagai kisah hidupku yang seolah-olah memang nyata, memang ada
sebagai fakta. Ah, tapi mereka bodoh kalau percaya saja, aku ini pembual.
Mereka pikir aku jujur? Mereka toh tidak menyaksikan apakah aku benar-benar mengalami
apa yang aku tulis atau tidak, hanya sekedar ditambah-tambahi embel-embel based
on true story, orang pasti cukup tergerak untuk membacanya, tinggal dibubuhi
judul yang cukup misterius tapi menjual, beserta sinopsis di sampul belakang
yang berkisah cukup provokatif, serta sekelumit-sekelumit komentar para
orang-orang terkenal yang memang kebetulan kukenal, atau dengan ‘penukaran jasa’ yg
setimpal, tentunya karyaku ini membuat orang tergerak untuk membelinya,
meminjamnya, atau yah, setidaknya membacanya.
***
“Menulislah dengan serius, kau punya bakat, kau punya fantasi, kau punya
semuanya, tapi apalah artinya tanpa sebuah keberanian.”
Hei, kau
pikir puisi-puisi yang kuciptakan untukmu, dan kukirim padamu, itu semua
kacangan? Tidak seriuskah, pikirmu…
Ah lagi-lagi
aku hanya mampu mengeluh dalam hati
“Banyak di luar sana orang yang kemampuannya di bawahmu, tapi mereka bisa
berani, bisa nekat!” sayang sekali umurmu itu, kalau cuma disia-siakan dan nggak
bikin gebrakan!”
Memangnya
harus? Dulu kau bilang tidak perlulah menulis hanya untuk mencari sensasi. Sekarang?
Mengapa kau menyarankan sambil setengah memaksa?
Atau, kau
hanya malu, mempunyai kekasih, yang tidak sebanding denganmu?
“Aku habis membeli sebuah novel, kisahnya, hampir mirip dengan kita, hanya
saja kelaminnya di balik, yang laki-laki di novel itu mirip dengan aku, laki-laki
itu suka sama seorang perempuan, penyair hebat, sedangkan laki-laki itu cuma
jadiin sastra untuk dinikmati, bukan jalan hidup, bisa mirip gitu yah.” Aku
bercerita padamu, dulu, sambil menunjukkan novel tersebut. Dan, masih saat itu,
aku melihat kau tersenyum, ah aku agak lupa, tertawa mungkin, sambil bilang, “Ini
bukuku, sayang, hanya saja aku memakai nama lain.”
Deg.
Mukaku seolah tertampar. Yah, jelas nama
pengarangnya bukan namamu, tapi riwayat singkat sang penulis di akhir cerita
memang mirip. Kebetulankah? Tanpa aku tahu kau yang menulis buku itu, tapi aku
justru membelinya. Aku merasa tertampar jelas karena apa-apa. Tapi bukan
perihal nama palsumu. Kisah itu seolah benar-benar mengisahkan apa yang dialami
sang penulis, seperti diari yang dibukukan. Dan dari kisah itu aku tahu, betapa
kau pernah mencintai perempuan itu, sampai membukukan dia, perempuan yang hebat
di matamu itu. Yah, mantanmu itu.
Aku menyayangimu bukan karena kamu penulis, bukan karena
kamu penyair yang bisa membawakan sejuta kata penuh pesona, seribu realita
indah yang tersusun dalam kalimat. Aku menyayangimu karena kamu mengisi setiap
bagian-bagian yang rumpang dari diriku. Tapi, nyatanya, kamu hanya hidup di
duniamu sendiri, dimana tak ada aku, tak ada ruang untuk kamu dan aku. Untuk
kita. Boro-boro aku menempati ruang dalam hatimu, dalam benakmu saja tidak.
Yah, tidak banyak pokoknya, dari sekian banyak hektar yang telah ditempati
benda-benda lain, wujud-wujud lain, di samping obsesimu. Sekali lagi, aku
merasa tidak ada diriku.
***
Kau membenarkan kacamatamu saat kuutarakan kecemburuanku terhadap
mantanmu yang kau bukukan itu. Ah, lagi-lagi sambil tertawa. “itu sudah lama
sekali sayang, tak perlulah cemburu.” Yah, tidak perlulah cemburu pada seorang
penyair, hanya bikin makan ati, terutama pada penyair yang satu ini.
Kau elus kepalaku sambil bilang, “Buku itu kutulis saat aku masih
seumurmu.” Lagi-lagi, kamu menganggapku begitu kecil. Masa kiniku adalah masa
lalumu. Sudahlah. Kata-katamu itu seperti kata-kata yang lebih lazim diucapkan
oleh seorang ayah kepada anaknya.
***
Sambil menikmati Yogyakarta, kota yang katanya banyak melahirkan seniman.
Aku sudah cukup yakin dengan label tersebut hanya dengan melihatmu, salah satu
penyair terbaik yang dilahirkan Yogyakarta. Malam itu kita reguk berdua, saling
diam. Kau dengan kopi hitammu, aku dengan capuccinoku. Kita tidak perlu makan,
perut kita sudah kenyang dengan kata-kata yang kita telan masing-masing sehabis
dimuntahkan nalar. Tapi rupanya kita masih dahaga, atau hanya alasan, karena
kita tahu, kata-kata kita selalu berada di dunia yang berbeda. Dan kau terus
membangun tembok, sedangkan jembatan yang ku bangun, tidak panjang,
konstruksinya juga tidak kuat.
Cangkir sudah tinggal cangkir, tidak ada lagi yang bisa kita hirup,
bahkan aroma pun tidak. Warung kopi ini pastilah tidak begitu asing di matamu.
Kau pasti pernah duduk di sini bersama kekasih-kekasihmu yang dulu. Berbicara
dari soal seni dan sastra, juga aspek-aspek lain yang mengganggu hidup manusia,
sekaligus melengkapi.
“Sayang, jadi orang besar, yah, aku tahu kamu pasti bisa.”, kau ucap itu
sambil memandang cangkir.
Hal itu lagi kau ulang terus, begitu malukah kau berkasih dengan orang
sepertiku? Yang tidak menelurkan karya sepertimu? Yang bagaikan anak ngambang,
yang tidak punya orientasi, seperti yang selalu kau ucapkan padaku. “Jadilah
sainganku, jangan jadi kekasihku. Aku butuh pesaing, bukan murid”. Kata itu
begitu membekas, mengabsolutkan diamku, saat itu.
***
Perlahan aku meninggalkanmu, tanpa pesan, tanpa jejak, hanya agar aku
dapat menyamai langkahmu, umurku memang jauh, kualitas karyaku ternyata juga
kalah jauh darimu. Kau tahu? Aku kumpulkan semua karya hasil mantanmu yang
penyair itu, hingga ke pelosok daerah, bertanya-tanya pada penerbit-penerbit
lama, sampai ke rekan-rekan perempuan itu yang tak pernah ku kenal sebelumnya.
Untuk apa aku lakukan semua itu?
Aku hanya ingin tahu, seperti apa gadis itu sampai membuatmu
membukukannya, sehebat apa dia sampai membuatmu tak pernah bisa lagi mencintai
perempuan lain dengan keutuhan. Sekian tahun aku berupaya menandinginya dengan
segala cara, baik kesungguhan maupun kepura-puraan, entah dengan cara baik
ataupun yang tidak etis. Pengejaranku hanya ingin mengunggulinya, untuk satu
tujuan, agar kau menatapku dengan penuh kagum, agar kau mencintaiku yang mampu
menyerupainya, menyerupaimu. Kemarahan telah membuatku sampai pada titik
kulminasi untuk memanggang kreativitasku, kesedihan menjadi arang-arang dengan
baranya, bahan bakar yang begitu berkualitas untuk bergiat dan produktif. Aku
berjuang sendiri, entah kamu menghilang kemana, mungkin kau semakin malu,
karena aku tak kunjung berkembang di matamu.
Meski gagal terlalu banyak kuterima, meski tak dianggap kerap menimpa
karya-karyaku, aku tak peduli. Hingga aku sampai pada suatu kesadaran, untuk
bangkit tanpa perlu lagi keaslian diri. Persetan dengan otentisitas, mati saja
semua yang original, di dunia ini yang diakui hanya kepalsuan, palsu memiliki
tempat yang agung untuk dipuji. Dengan berbaurnya aroma pengalaman yang
kusisipkan pada karya, yang kemudian diramu lebih dramatis dengan penambahan
seperlunya, untuk apa aku sia-sia membaca banyak biografi orang, beberapa
kisahnya kuakui sebagai kisahku dengan perubahan sedikit-sedikit. Gula, tidak
lagi berwujud gula ketika ia larut dalam teh. Orang tidak mampu lagi
membedakannya, mungkin sebagian masih merasa, jika indera-indera mereka masih
kuat, tapi kebanyakan penikmat, sudah tidak terlalu peka, kemampuan menghayati
mereka sudah rendah. Yang penting mereka suka.
***
5 tahun, waktu yang cukup singkat untuk akhirnya aku dapat menelurkan
buku. Usai acara launching bukuku di
sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, kau menemuiku. Aku sudah yakin kau pasti
dating tanpa perlu kuundang, dunia penulisan begitu sempit, kau pasti mendengar
kabar peluncuran buku ini dari mulut ke mulut. “Ini tulisanmu, sayang?”, kau
berkata sambil menunjuk sebuah buku dimana tertera namaku sebagai penulisnya.
Aku mengangguk. Memang kebanyakan hanya itu yang bisa kulakukan selama
bersamamu dulu, karena aku memang jarang bersuara.
“Hebat! Sudah
kubilang kau itu sangat berbakat menjadi penulis.”
Setelah itu,
kau jadi sering sms aku lagi, kau sering ingin menemuiku lagi. Hei, kemana saja
kau selama ini?
Kau tidak
mencintaiku, kau hanya mencintaiku ketika aku menyerupaimu. Itu jelas
menunjukkan, kau hanya mencintai dirimu sendiri.
“Aku mencintaimu, dan masih, pada setiap guratan di wajahmu, yang
menandakan kau sudah semakin menua. Aku pernah mencintai segala gagasanmu, juga
semua kecerobohan dan kebodohanmu. Aku pernah sangat mencintaimu dulu, saat aku
juga berpikir bahwa kamu juga mencintaiku.” Itu suaraku, yang kukatakan saat
kali kedua kita bertemu selepas peluncuran bukuku, kukatakan secara langsung
dari sekian banyak kata yang hanya aku ucapkan dalam hati. Aku masih bingung
apakah masih mau berbicara padamu untuk saat-saat selanjutnya atau tidak.
Sambil masih menimbang, apakah cinta itu pun juga masih ada? Kita berdua duduk
saling diam di sudut kafe, berlagak membolak-balik menu, padahal sudah tahu apa
yang akan kita pesan. Tanpa menanyakan apakah kau sudah tahu akan pesan apa,
aku lekas memanggil pelayan sambil tersenyum, dan bilang, “Aku mau minum cappuccino siang ini.”
***
No comments:
Post a Comment