.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Friday, May 4, 2012

FIKSI HASRAT

oleh:  April Ramadhina Tupai


Aku terjebak dalam tubuh ini, tubuh yang aku rasa tidak bernalar, tapi, tanpa mereka tahu, aku punya perasaan, dan itulah sumber imajinasiku, tidak melalui otak yang penuh kerumitan itu, inilah karyaku, fiksiku.
Mereka menuliskannya sebagai harianku, sebagai kisah hidupku yang seolah-olah memang nyata, memang ada sebagai fakta. Ah, tapi mereka bodoh kalau percaya saja, aku ini pembual. Mereka pikir aku jujur? Mereka toh tidak menyaksikan apakah aku benar-benar mengalami apa yang aku tulis atau tidak, hanya sekedar ditambah-tambahi embel-embel based on true story, orang pasti cukup tergerak untuk membacanya, tinggal dibubuhi judul yang cukup misterius tapi menjual, beserta sinopsis di sampul belakang yang berkisah cukup provokatif, serta sekelumit-sekelumit komentar para orang-orang terkenal yang memang kebetulan  kukenal, atau dengan ‘penukaran jasa’ yg setimpal, tentunya karyaku ini membuat orang tergerak untuk membelinya, meminjamnya, atau yah, setidaknya membacanya.
***
“Menulislah dengan serius, kau punya bakat, kau punya fantasi, kau punya semuanya, tapi apalah artinya tanpa sebuah keberanian.”
Hei, kau pikir puisi-puisi yang kuciptakan untukmu, dan kukirim padamu, itu semua kacangan? Tidak seriuskah, pikirmu…
Ah lagi-lagi aku hanya mampu mengeluh dalam hati
“Banyak di luar sana orang yang kemampuannya di bawahmu, tapi mereka bisa berani, bisa nekat!” sayang sekali umurmu itu, kalau cuma disia-siakan dan nggak bikin gebrakan!”
Memangnya harus? Dulu kau bilang tidak perlulah menulis hanya untuk mencari sensasi. Sekarang? Mengapa kau menyarankan sambil setengah memaksa?
Atau, kau hanya malu, mempunyai kekasih, yang tidak sebanding denganmu?
“Aku habis membeli sebuah novel, kisahnya, hampir mirip dengan kita, hanya saja kelaminnya di balik, yang laki-laki di novel itu mirip dengan aku, laki-laki itu suka sama seorang perempuan, penyair hebat, sedangkan laki-laki itu cuma jadiin sastra untuk dinikmati, bukan jalan hidup, bisa mirip gitu yah.” Aku bercerita padamu, dulu, sambil menunjukkan novel tersebut. Dan, masih saat itu, aku melihat kau tersenyum, ah aku agak lupa, tertawa mungkin, sambil bilang, “Ini bukuku, sayang, hanya saja aku memakai nama lain.”
Deg.
Mukaku seolah tertampar. Yah, jelas nama pengarangnya bukan namamu, tapi riwayat singkat sang penulis di akhir cerita memang mirip. Kebetulankah? Tanpa aku tahu kau yang menulis buku itu, tapi aku justru membelinya. Aku merasa tertampar jelas karena apa-apa. Tapi bukan perihal nama palsumu. Kisah itu seolah benar-benar mengisahkan apa yang dialami sang penulis, seperti diari yang dibukukan. Dan dari kisah itu aku tahu, betapa kau pernah mencintai perempuan itu, sampai membukukan dia, perempuan yang hebat di matamu itu. Yah, mantanmu itu.

Aku menyayangimu bukan karena kamu penulis, bukan karena kamu penyair yang bisa membawakan sejuta kata penuh pesona, seribu realita indah yang tersusun dalam kalimat. Aku menyayangimu karena kamu mengisi setiap bagian-bagian yang rumpang dari diriku. Tapi, nyatanya, kamu hanya hidup di duniamu sendiri, dimana tak ada aku, tak ada ruang untuk kamu dan aku. Untuk kita. Boro-boro aku menempati ruang dalam hatimu, dalam benakmu saja tidak. Yah, tidak banyak pokoknya, dari sekian banyak hektar yang telah ditempati benda-benda lain, wujud-wujud lain, di samping obsesimu. Sekali lagi, aku merasa tidak ada diriku.

***
Kau membenarkan kacamatamu saat kuutarakan kecemburuanku terhadap mantanmu yang kau bukukan itu. Ah, lagi-lagi sambil tertawa. “itu sudah lama sekali sayang, tak perlulah cemburu.” Yah, tidak perlulah cemburu pada seorang penyair, hanya bikin makan ati, terutama pada penyair yang satu ini.
Kau elus kepalaku sambil bilang, “Buku itu kutulis saat aku masih seumurmu.” Lagi-lagi, kamu menganggapku begitu kecil. Masa kiniku adalah masa lalumu. Sudahlah. Kata-katamu itu seperti kata-kata yang lebih lazim diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya.

*** 
Sambil menikmati Yogyakarta, kota yang katanya banyak melahirkan seniman. Aku sudah cukup yakin dengan label tersebut hanya dengan melihatmu, salah satu penyair terbaik yang dilahirkan Yogyakarta. Malam itu kita reguk berdua, saling diam. Kau dengan kopi hitammu, aku dengan capuccinoku. Kita tidak perlu makan, perut kita sudah kenyang dengan kata-kata yang kita telan masing-masing sehabis dimuntahkan nalar. Tapi rupanya kita masih dahaga, atau hanya alasan, karena kita tahu, kata-kata kita selalu berada di dunia yang berbeda. Dan kau terus membangun tembok, sedangkan jembatan yang ku bangun, tidak panjang, konstruksinya juga tidak kuat.
Cangkir sudah tinggal cangkir, tidak ada lagi yang bisa kita hirup, bahkan aroma pun tidak. Warung kopi ini pastilah tidak begitu asing di matamu. Kau pasti pernah duduk di sini bersama kekasih-kekasihmu yang dulu. Berbicara dari soal seni dan sastra, juga aspek-aspek lain yang mengganggu hidup manusia, sekaligus melengkapi.
“Sayang, jadi orang besar, yah, aku tahu kamu pasti bisa.”, kau ucap itu sambil memandang cangkir.
Hal itu lagi kau ulang terus, begitu malukah kau berkasih dengan orang sepertiku? Yang tidak menelurkan karya sepertimu? Yang bagaikan anak ngambang, yang tidak punya orientasi, seperti yang selalu kau ucapkan padaku. “Jadilah sainganku, jangan jadi kekasihku. Aku butuh pesaing, bukan murid”. Kata itu begitu membekas, mengabsolutkan diamku, saat itu.
***
Perlahan aku meninggalkanmu, tanpa pesan, tanpa jejak, hanya agar aku dapat menyamai langkahmu, umurku memang jauh, kualitas karyaku ternyata juga kalah jauh darimu. Kau tahu? Aku kumpulkan semua karya hasil mantanmu yang penyair itu, hingga ke pelosok daerah, bertanya-tanya pada penerbit-penerbit lama, sampai ke rekan-rekan perempuan itu yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Untuk apa aku lakukan semua itu?
Aku hanya ingin tahu, seperti apa gadis itu sampai membuatmu membukukannya, sehebat apa dia sampai membuatmu tak pernah bisa lagi mencintai perempuan lain dengan keutuhan. Sekian tahun aku berupaya menandinginya dengan segala cara, baik kesungguhan maupun kepura-puraan, entah dengan cara baik ataupun yang tidak etis. Pengejaranku hanya ingin mengunggulinya, untuk satu tujuan, agar kau menatapku dengan penuh kagum, agar kau mencintaiku yang mampu menyerupainya, menyerupaimu. Kemarahan telah membuatku sampai pada titik kulminasi untuk memanggang kreativitasku, kesedihan menjadi arang-arang dengan baranya, bahan bakar yang begitu berkualitas untuk bergiat dan produktif. Aku berjuang sendiri, entah kamu menghilang kemana, mungkin kau semakin malu, karena aku tak kunjung berkembang di matamu.
Meski gagal terlalu banyak kuterima, meski tak dianggap kerap menimpa karya-karyaku, aku tak peduli. Hingga aku sampai pada suatu kesadaran, untuk bangkit tanpa perlu lagi keaslian diri. Persetan dengan otentisitas, mati saja semua yang original, di dunia ini yang diakui hanya kepalsuan, palsu memiliki tempat yang agung untuk dipuji. Dengan berbaurnya aroma pengalaman yang kusisipkan pada karya, yang kemudian diramu lebih dramatis dengan penambahan seperlunya, untuk apa aku sia-sia membaca banyak biografi orang, beberapa kisahnya kuakui sebagai kisahku dengan perubahan sedikit-sedikit. Gula, tidak lagi berwujud gula ketika ia larut dalam teh. Orang tidak mampu lagi membedakannya, mungkin sebagian masih merasa, jika indera-indera mereka masih kuat, tapi kebanyakan penikmat, sudah tidak terlalu peka, kemampuan menghayati mereka sudah rendah. Yang penting mereka suka.
***
5 tahun, waktu yang cukup singkat untuk akhirnya aku dapat menelurkan buku. Usai acara launching bukuku di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, kau menemuiku. Aku sudah yakin kau pasti dating tanpa perlu kuundang, dunia penulisan begitu sempit, kau pasti mendengar kabar peluncuran buku ini dari mulut ke mulut. “Ini tulisanmu, sayang?”, kau berkata sambil menunjuk sebuah buku dimana tertera namaku sebagai penulisnya. Aku mengangguk. Memang kebanyakan hanya itu yang bisa kulakukan selama bersamamu dulu, karena aku memang jarang bersuara.
“Hebat! Sudah kubilang kau itu sangat berbakat menjadi penulis.”
Setelah itu, kau jadi sering sms aku lagi, kau sering ingin menemuiku lagi. Hei, kemana saja kau selama ini?
Kau tidak mencintaiku, kau hanya mencintaiku ketika aku menyerupaimu. Itu jelas menunjukkan, kau hanya mencintai dirimu sendiri.
“Aku mencintaimu, dan masih, pada setiap guratan di wajahmu, yang menandakan kau sudah semakin menua. Aku pernah mencintai segala gagasanmu, juga semua kecerobohan dan kebodohanmu. Aku pernah sangat mencintaimu dulu, saat aku juga berpikir bahwa kamu juga mencintaiku.” Itu suaraku, yang kukatakan saat kali kedua kita bertemu selepas peluncuran bukuku, kukatakan secara langsung dari sekian banyak kata yang hanya aku ucapkan dalam hati. Aku masih bingung apakah masih mau berbicara padamu untuk saat-saat selanjutnya atau tidak. Sambil masih menimbang, apakah cinta itu pun juga masih ada? Kita berdua duduk saling diam di sudut kafe, berlagak membolak-balik menu, padahal sudah tahu apa yang akan kita pesan. Tanpa menanyakan apakah kau sudah tahu akan pesan apa, aku lekas memanggil pelayan sambil tersenyum, dan bilang, “Aku mau minum cappuccino siang ini.”
***

No comments:

Post a Comment