Hujan yang
mengguyur Jakarta Selatan semenjak siang pada hari Minggu, 1 April lalu, tidak
menyurutkan kedatangan penggemar-penggemar Payung Teduh yang menyesaki bagian
dalam toko buku Aksara Kemang. Antusiasme mereka yang tinggi terlihat dari venue yang sudah mulai penuh semenjak
awal acara, meski penampilan Payung Teduh sendiri masih akan didahului oleh
penampilan dari beberapa nama yang mungkin masih asing bagi sebagian pengunjung.
Saya yang
datang terlambat pada sore itu beruntung tidak melewatkan penampilan pembuka
dari super-group #ANEHABIS. Band yang terdiri dari Adink De Menace, Mian
Meuthia, Mian Tiara, Citra Pramadi, dan
Mondo Gascaro serta Dono Firman dari SORE ini berhasil membawakan lagu-lagu bossa dengan rapih dalam permainan yang
jenaka dan ramah. Mian Tiara yang tampil sangat cantik pada malam itu berhasil
membius penonton dengan membawakan lagu Surya Tenggelam milik almarhum Chrisye.
Selepas penampilan
dari #ANEHABIS dan Mian Tiara acara dilanjutkan dengan pemutaran video dokumenter
pendek yang menceritakan secara singkat perjalanan Payung Teduh menuju Dunia
Batas. Dunia Batas dalam 3 kata adalah
“best album ever”, “oke, oke, oke”, “sebuah tanda cinta”, sekaligus “tempat gue
tersesat” bagi mereka. Bersama dengan lahirnya album ini, Payung Teduh berharap
akan semakin banyak orang mengerti cara Payung Teduh bermusik, dan akan ada
semakin banyak orang yang mendengar Payung Teduh. Pemutaran video "Tidurlah" kemudian menjadi penutup sebelum Payung Teduh beserta Mondo Gascaro dan Sarah
Glandosch selaku produser dari label Ivy League memotong tumpeng nasi kuning
bersama.
Selepas Senja
Seperti
dikutip dari blog Payung Teduh, Payung Teduh lahir dari Is dan Comi; 2 orang
sahabat yang berprofesi sebagai pemusik di Teater Pagupon yang senang nongkrong
bersama di kantin FIB (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Pada tahun
2008 Payung teduh mengajak Cito untuk bergabung bersama sebagai drummer, lalu
mengajak Ivan sebagai guitalele player pada tahun 2010. Payung Teduh
akhirnya memutuskan untuk membuat album indie
pertamanya yang dirilis di penghujung 2010.
Bila Anda
termasuk dari orang-orang yang setuju bahwa “Musisi yang baik adalah musisi
yang terdengar lebih baik saat live
dibanding saat didengar di album”, maka Payung Teduh bisa jadi merupakan band
yang sangat baik bagi Anda. Alih-alih membawakan lagu yang mendeskripsikan
suasana malam itu, Payung Teduh berhasil membawa penonton memasuki suasana yang
mendeskripsikan Payung Teduh; bersahaja, hangat, dekat, romantis, dan teduh. Payung
Teduh membawakan 12 lagu yang tidak hanya terdengar tapi juga terasa sangat
memukau, terlebih lagi dengan iringan vokal dan alat musik pendukung yang tidak
muncul di album rekaman.
Cerita Tentang Gunung dan Laut menjadi lagu pembuka mereka
yang dilanjutkan dengan lagu Kucari Kamu. Kedua lagu andalan mereka ini menjadi
pembuka yang apik dan berhasil melabuhkan serta membuka antusiasme penonton
malam itu. Malam yang
menjadi lagu ketiga dinyanyikan Payung Teduh bersama dengan Maria dari
Stereomantic. Payung Teduh kemudian meneruskan penampilannya dengan Untuk
Perempuan yang Sedang di Pelukan dan Angin Pujaan Hujan. Mereka lalu beranjak
membawakan 2 lagu baru yang ada di album Dunia Batas; Rahasia, sebuah lagu yang
dikatakan Is sebagai “lagu yang bercerita tentang sesuatu yang tidak terucap” dan
Menuju Senja, lagu yang diciptakan Payung Teduh sebagai jawaban atas lagu
Setengah Lima milik Sore, dan memang kental dengan suasana musik khas Sore.
Kembali ke album pertamanya, Payung Teduh membawakan Berdua Saja, Tidurlah, dan Resah. Tidurlah, bagi saya, merupakan penampilan yang paling mengesankan dari Payung Teduh pada malam itu. Seorang gadis cilik bernama Gaby berduet bersama Is, menyanyikan lirik bergantian dalam harmoni yang membuat tubuh saya merinding karena dijalari perasaan menyenangkan. Tepuk riuh penonton di sela lagu pun membuat saya yakin bahwa bukan saya saja yang menyimpan candu terhadap biusan hipnotis suara duet tersebut.
Di Ujung Malam
Malam itu
merupakan malam peluncuran album yang sangat sesuai dengan tajuknya; An Intimate
Afternoon with Payung Teduh. Penonton yang hadir tidak banyak namun juga tidak
sedikit, dan kesemuanya hafal paling tidak sebagian lirik dari setiap lagu,
kecuali tentu saja 4 lagu yang baru.
Seusai
acara, stand penjualan merchandise terpantau sesak dan kasir diulari antrean
tertib. Kedua kombinasi ini semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa Payung
Teduh adalah band folk yang dicintai
banyak orang, sekaligus mengamini harapan Payung Teduh agar albumnya “cepat
habis”. Terimakasih untuk Payung Teduh, Ivy League, dan Aksara Kemang atas
penghabisan waktu lepas senja yang menyenangkan.
No comments:
Post a Comment