.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Wednesday, April 4, 2012

MENUJU SENJA

oleh: Bina Nurrifri

Hujan yang mengguyur Jakarta Selatan semenjak siang pada hari Minggu, 1 April lalu, tidak menyurutkan kedatangan penggemar-penggemar Payung Teduh yang menyesaki bagian dalam toko buku Aksara Kemang. Antusiasme mereka yang tinggi terlihat dari venue yang sudah mulai penuh semenjak awal acara, meski penampilan Payung Teduh sendiri masih akan didahului oleh penampilan dari beberapa nama yang mungkin masih asing bagi sebagian pengunjung.

Saya yang datang terlambat pada sore itu beruntung tidak melewatkan penampilan pembuka dari super-group #ANEHABIS. Band yang terdiri dari Adink De Menace, Mian Meuthia, Mian Tiara, Citra Pramadi,  dan Mondo Gascaro serta Dono Firman dari SORE ini berhasil membawakan lagu-lagu bossa dengan rapih dalam permainan yang jenaka dan ramah. Mian Tiara yang tampil sangat cantik pada malam itu berhasil membius penonton dengan membawakan lagu Surya Tenggelam milik almarhum Chrisye.

Selepas penampilan dari #ANEHABIS dan Mian Tiara acara dilanjutkan dengan pemutaran video dokumenter pendek yang menceritakan secara singkat perjalanan Payung Teduh menuju Dunia Batas.  Dunia Batas dalam 3 kata adalah “best album ever”, “oke, oke, oke”, “sebuah tanda cinta”, sekaligus “tempat gue tersesat” bagi mereka. Bersama dengan lahirnya album ini, Payung Teduh berharap akan semakin banyak orang mengerti cara Payung Teduh bermusik, dan akan ada semakin banyak orang yang mendengar Payung Teduh. Pemutaran video "Tidurlah" kemudian menjadi penutup sebelum Payung Teduh beserta Mondo Gascaro dan Sarah Glandosch selaku produser dari label Ivy League memotong tumpeng nasi kuning bersama.


Selepas Senja

Seperti dikutip dari blog Payung Teduh, Payung Teduh lahir dari Is dan Comi; 2 orang sahabat yang berprofesi sebagai pemusik di Teater Pagupon yang senang nongkrong bersama di kantin FIB (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Pada tahun 2008 Payung teduh mengajak Cito untuk bergabung bersama sebagai drummer, lalu mengajak Ivan sebagai guitalele player pada tahun 2010. Payung Teduh akhirnya memutuskan untuk membuat album indie pertamanya yang dirilis di penghujung 2010. 
Bila Anda termasuk dari orang-orang yang setuju bahwa “Musisi yang baik adalah musisi yang terdengar lebih baik saat live dibanding saat didengar di album”, maka Payung Teduh bisa jadi merupakan band yang sangat baik bagi Anda. Alih-alih membawakan lagu yang mendeskripsikan suasana malam itu, Payung Teduh berhasil membawa penonton memasuki suasana yang mendeskripsikan Payung Teduh; bersahaja, hangat, dekat, romantis, dan teduh. Payung Teduh membawakan 12 lagu yang tidak hanya terdengar tapi juga terasa sangat memukau, terlebih lagi dengan iringan vokal dan alat musik pendukung yang tidak muncul di album rekaman.

Cerita Tentang Gunung dan Laut menjadi lagu pembuka mereka yang dilanjutkan dengan lagu Kucari Kamu. Kedua lagu andalan mereka ini menjadi pembuka yang apik dan berhasil melabuhkan serta membuka antusiasme penonton malam itu. Malam yang menjadi lagu ketiga dinyanyikan Payung Teduh bersama dengan Maria dari Stereomantic. Payung Teduh kemudian meneruskan penampilannya dengan Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan dan Angin Pujaan Hujan. Mereka lalu beranjak membawakan 2 lagu baru yang ada di album Dunia Batas; Rahasia, sebuah lagu yang dikatakan Is sebagai “lagu yang bercerita tentang sesuatu yang tidak terucap” dan Menuju Senja, lagu yang diciptakan Payung Teduh sebagai jawaban atas lagu Setengah Lima milik Sore, dan memang kental dengan suasana musik khas Sore.




Kembali ke album pertamanya, Payung Teduh membawakan Berdua Saja, Tidurlah, dan Resah. Tidurlah, bagi saya, merupakan penampilan yang paling mengesankan dari Payung Teduh pada malam itu. Seorang gadis cilik bernama Gaby berduet bersama Is, menyanyikan lirik bergantian dalam harmoni yang membuat tubuh saya merinding karena dijalari perasaan menyenangkan. Tepuk riuh penonton di sela lagu pun membuat saya yakin bahwa bukan saya saja yang menyimpan candu terhadap biusan hipnotis suara duet tersebut.

Waktu menunjukkan pukul 10 ketika Payung Teduh menutup malam itu dengan Di Ujung Malam, sebuah lagu yang Is ceritakan sebagai lagu yang lahir dari kesunyian pekat, dan Biarkan, keduanya merupakan lagu yang baru Payung Teduh sajikan di album Dunia Batas.

Di Ujung Malam
Malam itu merupakan malam peluncuran album yang sangat sesuai dengan tajuknya; An Intimate Afternoon with Payung Teduh. Penonton yang hadir tidak banyak namun juga tidak sedikit, dan kesemuanya hafal paling tidak sebagian lirik dari setiap lagu, kecuali tentu saja 4 lagu yang baru.

Seusai acara, stand penjualan merchandise terpantau sesak dan kasir diulari antrean tertib. Kedua kombinasi ini semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa Payung Teduh adalah band folk yang dicintai banyak orang, sekaligus mengamini harapan Payung Teduh agar albumnya “cepat habis”. Terimakasih untuk Payung Teduh, Ivy League, dan Aksara Kemang atas penghabisan waktu lepas senja yang menyenangkan.





Foto: Niscaya Puri, Danurdara Labda Wicaksana

No comments:

Post a Comment