Cerita, memang tak bisa sepenuhnya
identik
dengan yang nyata. Sudah pasti, ada yang dipoles
disana. Ada yang direka diantara elemennya dengan sengaja. Entah itu awalannya,
tengahnya, akhirannya, atau keseluruhannya. Kuasanya ada di tangan pencerita.
Ialah yang menentukan arah dilema. Pendengar, penonton biasanya hanya mengikuti
saja, sambil mengangguk percaya pada daya tular emosinya, hingga desahan heran,
tawa girang, sampai tangis kasihan, dikeluarkan tanpa sungkan. Katanya, itu
nikmat rasanya. Sama ketika akhirnya bisa pipis setelah menahan sekian lama.
Enak, lega.
Makanya,
manusia jadi gemar mencari cerita. Televisi dinyalakan di jam-jam utama, jamnya
drama. Mulai dari sinetron berepisode ratusan, sampai reality show yang penuh tangisan,
makian, sampai tamparan. Tabloid-tabloid pun hanya
yang sensasional yang dipesan. Biasanya
cerita-cerita penggugah hati lah yang menjadi bintang, dibaca hingga buyar.
Banyak yang bilang ini tak benar. Orang-orang pintar berlomba-lomba melarang.
Katanya, psikologis manusia bisa cemar. “Yang mendengar, yang menonton bisa
sentimental. Sentimental tak baik bagi kehidupan,” mereka bilang. Namun, si
pendengar, penonton punya pembelaan. “Kami sudah besar. Kami tahu itu sentimental.
Tenang. Kami hanya mencari teladan. Kami butuh pedoman.” Jadi benar katanya
pada Scheherazade di kisah “Seribu Satu Malam”: ,”people need stories, more than bread itself, because
they teach us how to live, and why.”
Berangkat
dari hal yang hampir serupa, “Cerita Suatu Ketika” pun ingin turut berbagi “pesona”hingga
sentimentalnya hidup manusia, lengkap dengan segala problemanya, agar penikmat
dapat mengambil sesuatu darinya, lewat karya visual yang apik nan humanistik. Cerita-ceritanya
seperti rekonstruksi ulang dari konsep tiga hubungan insan dengan yang liyan:
manusia lain, alam dan Tuhan. Jadi jangan heran, jika menemukan keintiman
sekaligus kerumitan dalam ikatan antara bhuwana agung (semesta) dan bhuwana
alit (diri manusia) disana, yang mungkin jarang diceritakan banyak orang.
Namun,
meskipun demikian, kelima seniman muda ini sadar bahwa cerita-cerita mereka tentu
saja tak ajeg benar. Maka, mereka pun menyuguhkan garis, bentuk, dan
warna yang begitu “liar”, hingga bebas dipandang, pula diceritakan ulang oleh
penikmatnya agar dapat ditentukan sendiri akhirnya, dipoles tengahnya, dikarang
karakternya, sampai diperbarui kisahnya, layaknya kata-kata Herakleitos yang
ternama,”’setiap hari matahari selalu baru’ adalah benar, kalau tidak bagi para
ilmuwan tentulah bagi seniman.”Dan mereka, bagi saya, telah berhasil
melakukannya sehingga mereka, saya, anda, bisa jadi pengarangnya, tak terbentur
usia atau selera.
Seperti
kisah yang dilontarkan Bagus Priyo Sasmito misalnya. Karyanya, yang berjudul “alone”,
kelam pula berkepribadian. Ia menarasikan tabiat tak satu dari manusia, yang
mana rumit nan unik, yang berfungsi sebagai idiosinkrasi dengan lainnya, lewat
tiga buah karya yang mewakili karakter manusia, hewan dan tumbuhan. Kenyataan
bahwa adanya ketidakjelasan batas antar tiap karakter dalam diri manusia, ia
utarakan dengan masuk akal melalui ketidakjelasan pula identitas dari ketiga
karyanya hingga akan sulit membedakan mana yang mewakili “manusia”, “hewan”
atau “tumbuhan”. Dengan demikian, karyanya menantang kita, karena hanya diri
manusia masing-masinglah yang punya kuasa untuk memilahnya.
Lain
lagi dengan kisah yang dilantunkan Mikha Ogamba: “femme, homme, voyage”.
Ia berbicara tentang rasa yang paling bikin bimbang manusia: cinta. “Sebut
dalam hati. Ketika semua berawal haraplah kalau akhir tidak akan pernah ada.
Ini sebuah perjalanan,”tulisnya menceritakan tiga gambarnya.Karyanya manis. Cheesy,memang.
Namun, ditengah-tengah penerimaan masyarakat kita yang ramah pada kriminalitas,
bisikan lugas seperti ini tentu saja perlu.Kelantangan Mikha dalam mengagumi
hubungan antar dua insan ini, yang mana di jaman sekarang sering disangkal
dengan alasan malu hingga akhirnya tabu, pun kemudian menjadi karya yang mampu
dinikmati sambil bercengkrama, karena mewakili siapa saja yang sedang dirundung
asmara. Jatuh cinta jadi tak biasa saja.”Sederhana, akuilah dengan hati
terbuka,” rayu karyanya.
Karya
milik Rega Ayundya Putri, “abusive silence, entangled feelings”, kemudian
memperlengkap kisah Mikha. “Bagaimana sesuatu yang menghubungkan dua pihak,
bisa menjadi apa yang berbalik memperumit apa yang sebenarnya sudah saling
terhubungkan,”ujarnya lewat gambarnya.Inilah yang kemudian membuat karya Rega dapat
dilihat sebagai lanjutan wejangan dari karya Mikha Ogamba: “hubungan antar dua
insan itu indah. Namun ingat, keindahan pun memiliki resiko yang tak
terelakkan, biar seimbang.” Rega menggambarkannya dengan tepat. Rambut, bagian
dari manusia yang paling indah namun yang paling sering kusut, ia jadikan
analogi cermat. Karyanya satu namun tak berpadu. Rega dengan elok memisahkannya
dalam dua frame yang saling bertaut seru, mengundang penikmatnya untuk bertopang
dagu dan melihatnya hingga lelah tubuh. Sungguh, bikin hati kelu.
Begitu
juga dengan “Implode Silent”, bikinan Nurify. Karyanya pun menyentuh hal
personal, layaknya karya Rega dan Mikha. Namun, karya Nurify lebih intrapersonal
sifatnya, bahkan di beberapa sisi begitu transedental hubungannya. Dalam tiga
karyanya, Nurify mewakili manusia-manusia yang “berbicara sendiri”karena
hidupnya sepi, yang mana seringnya hasil dari obrolan tersebut adalah keputusan
manusia untuk melukai diri, baik secara jasmani maupun rohani. Karyanya berurutan
namun ambyar, merepresentasikan sebuah dilema pembicaraan yang begitu runyam,
yang perihnya diakhiri oleh ironi,”pada akhirnya keributan atas diri sendiri,
diselamatkan oleh diri sendiri pula,” tulisnya pada deskripsi. Penikmatan atas
dukana sendiri pun, alih-alih berubah jadi emosi tanpa henti, menjelma jadi
introspeksi, yang turut dilengkapi oleh karya terakhir dari pameran ini: karya dari Roy Bayu Putra.
Introspeksi memang juga
adalah yang dinarasikan oleh “between sangkan & the paraning”.Cerita
yang diusung Roy Bayu Putra ini sederhana, namun betul mengena. Ini lebih dari
soal hubungan manusia dan alamnya yang seringkali digambarkan saling bergantung
satu sama lain. Ini lebih dari itu. Jika meminjam istilah dalam budaya Bali,
ini adalah rwa bhineda, dua yang menjadi satu. Sama seperti konsep yin
yang dalam budaya Cina, dimana yang berbeda berpadu hingga tercipta
hubungan yang lebih serius dari sekedar “bergantung” agar tetap hidup. Hasilnya,
introspeksi yang terjadi pun lebih dari melihat diri sendiri sebagai manusia,
namun sudah sampai pada tingkatan melihat diri sendiri sebagai alam, bukan lagi
hanya menjadi “bagian” atau “teman” dari alam.
Ini, yang lalu, membuat karya
Roy Bayu menjadi penutup yang rupawan. Hubungan manusia dengan yang liyan pun
lengkap diceritakan. Ceritanya pun semuanya masuk akal. Manusia memang begitu semrawut,
sering irasional. Namun, seperti yang telah dituliskan sebelumnya,
cerita-cerita mereka bisa jadi masih belum sempurna benar, masih punya
kekurangan yang perlu ditambal agar cerita mereka jadi punya andil besar,
kalaupun tidak untuk hidup semua orang, pastilah untuk hidup kita perseorangan.
Jadi, jika ingin karya-karya di
pameran ini tak terbuang percuma karena hanya dipandang lalu lalang,
sok lah bercerita ulang. Boleh apa saja, boleh dimana saja, bahkan di
suatu ketika…
2011
No comments:
Post a Comment