.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Friday, December 16, 2011

“Cerita Suatu Ketika” Sentimentalnya Visual: Senimental



Article by Ni Nyoman Nanda Putri Lestari
Cerita, memang tak bisa sepenuhnya identik dengan yang nyata. Sudah pasti, ada yang dipoles disana. Ada yang direka diantara elemennya dengan sengaja. Entah itu awalannya, tengahnya, akhirannya, atau keseluruhannya. Kuasanya ada di tangan pencerita. Ialah yang menentukan arah dilema. Pendengar, penonton biasanya hanya mengikuti saja, sambil mengangguk percaya pada daya tular emosinya, hingga desahan heran, tawa girang, sampai tangis kasihan, dikeluarkan tanpa sungkan. Katanya, itu nikmat rasanya. Sama ketika akhirnya bisa pipis setelah menahan sekian lama. Enak, lega.
Makanya, manusia jadi gemar mencari cerita. Televisi dinyalakan di jam-jam utama, jamnya drama. Mulai dari sinetron berepisode ratusan, sampai reality show yang penuh tangisan, makian, sampai tamparan. Tabloid-tabloid pun hanya yang sensasional yang dipesan. Biasanya cerita-cerita penggugah hati lah yang menjadi bintang, dibaca hingga buyar. Banyak yang bilang ini tak benar. Orang-orang pintar berlomba-lomba melarang. Katanya, psikologis manusia bisa cemar. “Yang mendengar, yang menonton bisa sentimental. Sentimental tak baik bagi kehidupan,” mereka bilang. Namun, si pendengar, penonton punya pembelaan. “Kami sudah besar. Kami tahu itu sentimental. Tenang. Kami hanya mencari teladan. Kami butuh pedoman.” Jadi benar katanya pada Scheherazade di kisah “Seribu Satu Malam”: ,people need stories, more than bread itself, because they teach us how to live, and why.”
Berangkat dari hal yang hampir serupa, “Cerita Suatu Ketika” pun ingin turut berbagi “pesona”hingga sentimentalnya hidup manusia, lengkap dengan segala problemanya, agar penikmat dapat mengambil sesuatu darinya, lewat karya visual yang apik nan humanistik. Cerita-ceritanya seperti rekonstruksi ulang dari konsep tiga hubungan insan dengan yang liyan: manusia lain, alam dan Tuhan. Jadi jangan heran, jika menemukan keintiman sekaligus kerumitan dalam ikatan antara bhuwana agung (semesta) dan bhuwana alit (diri manusia) disana, yang mungkin jarang diceritakan banyak orang.
Namun, meskipun demikian, kelima seniman muda ini sadar bahwa cerita-cerita mereka tentu saja tak ajeg benar. Maka, mereka pun menyuguhkan garis, bentuk, dan warna yang begitu “liar”, hingga bebas dipandang, pula diceritakan ulang oleh penikmatnya agar dapat ditentukan sendiri akhirnya, dipoles tengahnya, dikarang karakternya, sampai diperbarui kisahnya, layaknya kata-kata Herakleitos yang ternama,”’setiap hari matahari selalu baru’ adalah benar, kalau tidak bagi para ilmuwan tentulah bagi seniman.”Dan mereka, bagi saya, telah berhasil melakukannya sehingga mereka, saya, anda, bisa jadi pengarangnya, tak terbentur usia atau selera.
Seperti kisah yang dilontarkan Bagus Priyo Sasmito misalnya. Karyanya, yang berjudul “alone”, kelam pula berkepribadian. Ia menarasikan tabiat tak satu dari manusia, yang mana rumit nan unik, yang berfungsi sebagai idiosinkrasi dengan lainnya, lewat tiga buah karya yang mewakili karakter manusia, hewan dan tumbuhan. Kenyataan bahwa adanya ketidakjelasan batas antar tiap karakter dalam diri manusia, ia utarakan dengan masuk akal melalui ketidakjelasan pula identitas dari ketiga karyanya hingga akan sulit membedakan mana yang mewakili “manusia”, “hewan” atau “tumbuhan”. Dengan demikian, karyanya menantang kita, karena hanya diri manusia masing-masinglah yang punya kuasa untuk memilahnya.
Lain lagi dengan kisah yang dilantunkan Mikha Ogamba: “femme, homme, voyage”. Ia berbicara tentang rasa yang paling bikin bimbang manusia: cinta. “Sebut dalam hati. Ketika semua berawal haraplah kalau akhir tidak akan pernah ada. Ini sebuah perjalanan,”tulisnya menceritakan tiga gambarnya.Karyanya manis. Cheesy,memang. Namun, ditengah-tengah penerimaan masyarakat kita yang ramah pada kriminalitas, bisikan lugas seperti ini tentu saja perlu.Kelantangan Mikha dalam mengagumi hubungan antar dua insan ini, yang mana di jaman sekarang sering disangkal dengan alasan malu hingga akhirnya tabu, pun kemudian menjadi karya yang mampu dinikmati sambil bercengkrama, karena mewakili siapa saja yang sedang dirundung asmara. Jatuh cinta jadi tak biasa saja.”Sederhana, akuilah dengan hati terbuka,” rayu karyanya.
Karya milik Rega Ayundya Putri, “abusive silence, entangled feelings”, kemudian memperlengkap kisah Mikha. “Bagaimana sesuatu yang menghubungkan dua pihak, bisa menjadi apa yang berbalik memperumit apa yang sebenarnya sudah saling terhubungkan,”ujarnya lewat gambarnya.Inilah yang kemudian membuat karya Rega dapat dilihat sebagai lanjutan wejangan dari karya Mikha Ogamba: “hubungan antar dua insan itu indah. Namun ingat, keindahan pun memiliki resiko yang tak terelakkan, biar seimbang.” Rega menggambarkannya dengan tepat. Rambut, bagian dari manusia yang paling indah namun yang paling sering kusut, ia jadikan analogi cermat. Karyanya satu namun tak berpadu. Rega dengan elok memisahkannya dalam dua frame yang saling bertaut seru, mengundang penikmatnya untuk bertopang dagu dan melihatnya hingga lelah tubuh. Sungguh, bikin hati kelu.
Begitu juga dengan “Implode Silent”, bikinan Nurify. Karyanya pun menyentuh hal personal, layaknya karya Rega dan Mikha. Namun, karya Nurify lebih intrapersonal sifatnya, bahkan di beberapa sisi begitu transedental hubungannya. Dalam tiga karyanya, Nurify mewakili manusia-manusia yang “berbicara sendiri”karena hidupnya sepi, yang mana seringnya hasil dari obrolan tersebut adalah keputusan manusia untuk melukai diri, baik secara jasmani maupun rohani. Karyanya berurutan namun ambyar, merepresentasikan sebuah dilema pembicaraan yang begitu runyam, yang perihnya diakhiri oleh ironi,”pada akhirnya keributan atas diri sendiri, diselamatkan oleh diri sendiri pula,” tulisnya pada deskripsi. Penikmatan atas dukana sendiri pun, alih-alih berubah jadi emosi tanpa henti, menjelma jadi introspeksi, yang turut dilengkapi oleh karya terakhir dari pameran ini: karya dari Roy Bayu Putra.
Introspeksi memang juga adalah yang dinarasikan oleh “between sangkan & the paraning”.Cerita yang diusung Roy Bayu Putra ini sederhana, namun betul mengena. Ini lebih dari soal hubungan manusia dan alamnya yang seringkali digambarkan saling bergantung satu sama lain. Ini lebih dari itu. Jika meminjam istilah dalam budaya Bali, ini adalah rwa bhineda, dua yang menjadi satu. Sama seperti konsep yin yang dalam budaya Cina, dimana yang berbeda berpadu hingga tercipta hubungan yang lebih serius dari sekedar “bergantung” agar tetap hidup. Hasilnya, introspeksi yang terjadi pun lebih dari melihat diri sendiri sebagai manusia, namun sudah sampai pada tingkatan melihat diri sendiri sebagai alam, bukan lagi hanya menjadi “bagian” atau “teman” dari alam.
Ini, yang lalu, membuat karya Roy Bayu menjadi penutup yang rupawan. Hubungan manusia dengan yang liyan pun lengkap diceritakan. Ceritanya pun semuanya masuk akal. Manusia memang begitu semrawut, sering irasional. Namun, seperti yang telah dituliskan sebelumnya, cerita-cerita mereka bisa jadi masih belum sempurna benar, masih punya kekurangan yang perlu ditambal agar cerita mereka jadi punya andil besar, kalaupun tidak untuk hidup semua orang, pastilah untuk hidup kita perseorangan. Jadi, jika ingin karya-karya di pameran ini tak terbuang percuma karena hanya dipandang lalu lalang, sok lah bercerita ulang. Boleh apa saja, boleh dimana saja, bahkan di suatu ketika…
2011

No comments:

Post a Comment