.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Wednesday, November 30, 2011

PERCAKAPAN TANPA BUSANA

Short Story by Andreas Anex, Photography by Rukii Naraya 



Pertengakaran ini bukan yang pertama bagi kami. Suamiku selalu tak dapat menerima ungkapan cintaku padanya. Bagiku ia hanya belum mengerti.
Malam ini mungkin puncak kengambekkannya.  Dengan lembut ia menyingkirkan tubuhku ke sampingnya setelah ia bertanya apakah aku mencintainya, dan aku jawab terserah padamu. Setelah kata-kata itu ia memunggungiku di tempat tidur. Kami tidak jadi bercinta. Aku heran,

“Tidakkah kata terserah yang selalu kuucapkan membuatmu merasa istimewa?”
“Tidak sama sekali.” katanya sambil menepis belaianku di wajahnya. Aku berusaha membalikkan dengan lembut wajahnya ke arahku.
“mengapa?”
“Karena kau selalu bilang terserah, begitu juga saat ku tanya apakah kau cinta padaku.” Ia berbicara dengan nada yang berat, namun aneh, bagiku terdengar seperti ambekkan anak kecil yang kehilangan permen di ujung mulutnya. Aku berusaha untuk tetap merayunya.

“Bagiku itu tanda cintaku terhadap seseorang.”
“Bagaimana mungkin? Tidak ada wanita yang menyatakannya selalu dengan kata terserah.”
“Bila begitu, kau tidak mengerti diriku.”
“Terserah!”
“Nah! Kau baru saja mengatakan kata itu. Bagiku kau sudah mengerti. Ayolah kita lanjutkan lagi.”

Belaianku tetap saja diacuhkannya. Mungkin gairahnya sudah hilang.
“Aku tidak bilang bahwa aku sedang berbaik hati untuk menyatakan cintaku, aku sedang sebal.”
“Tapi kau baru saja bilang terserah.”
“Itu justru karena aku tak tau harus berkata apa lagi padamu.”
“Begitu juga dengan terserah milikku, aku begitu tulus sehingga aku tak perlu lagi berusaha untuk mengertimu.”
“bukan itu maksudku.”
“lalu apa?” rayuku untuk kembali memulai percintaan. Gairahku masih tersisa.

“Mengapa kau tak bilang bahwa kau mencintaiku, bahkan saat pernikahan kita.”
“Saat pastur menanyakan apakah aku mencintaimu, aku bilang terserah. Itulah tanda cintaku.”
“Tapi tak ada yang tau!.” Kata suamiku seolah ia sedang mmemanggil kembali kekecewaan 1 tahun yang lalu.

“Untuk apa yang lain perlu tau?”
“Ahh! Terserah kau saja, kau selalu pandai berbicara.”
“Tuh kan, kamu menyebut kata terserah lagi, sudahlah, tak usah dibahas.” Huruf r terahkir iti ku kubisikkan di telinga kananya, tapi ia kembali menggeser wajahku menjauhinya. Bagiku ini bukan sebuah pertengkaran, percakapan ini hanya permainannya agar aku tetap merayunya. Suamiku terlalu serius memandang segala hal. Mungkin itu juga yang menjadikannya seorang Peneliti dalam bidang matematika. Baginya mungkin segala hal harus dijelaskan. Tapi bagiku tidak.

“Bagaimana terserah dapat menjadi ungkapan cintamu?”
“Aku selalu mengatakan itu pada ibuku sewaktu kecil.”
“untuk apa?”
“Untuk memahaminya. Sewaktu kecil aku tak tau apa yang harus kulakukan. Di saat aku lelah bermain sendirian di taman belakang, ibuku bilang bahwa aku sudah kotor, ia bertanya apakah aku perlu mandi. Aku menjawab terserah sedangkan aku merasa masih ingin bermain. Di sore yang lain ibuku bilang bahwa aku sudah lapar, ia bertanya apakah aku harus makan. Aku bilang terserah, lalu aku makan sedangkan aku belum lapar. Tapi ku kira ibu sangat mencintaiku, dan ia tau apa yang harus kulakukan.”
“Lalu mengapa kau ingin melakukannya, sedangkan kamu tau kau tidak ingin?”
“Justru itu, terkadang aku sadar, untuk membalas cinta seseorang, aku harus menghargainya, dan melupakan egoku.”
“Lalu apakah kata terserah itu kau ucapkan pada setiap orang?”
“Pasti tidak, aku hanya mengucapkannya pada orang yang kucintai.”
“Pada orang lain?”
“Aku akan menjawabnya dengan tegas, ia atau tidak.”
“Mengapa kau bisa mengatakan itu pada orang lain, sedangkan padaku tidak?”
“ya itu, karena aku tidak meletakkan perasaan apa pun pada kata iya dan tidak itu.”
“Aku tidak mengerti.”
“Sewaktu kecil, di malam hari ibu bilang bahwa aku sudah mengantuk, aku tau itu adalah cara agar aku tidur. Aku tidak sedang mengantuk saat itu, tapi aku menurutinya. Ia bertanya apakah aku ingin tidur?Aku tau niat baik di balik kata-katanya. Aku jawab terserah, dan aku berusaha untuk tidur.”
“Lalu bagaimana kau berharap seseorang tau bahwa kata terserah itu adalah pernyataan cintamu bagi seseorang?”
“Dengan berusaha mengerti bagaimana aku. Dan memang itu juga yang kulakukan saat aku berusaha mengerti maksud baik ibu.”
“ah, kau ini pengarang, kau pasti sudah menyiapkan cerita itu bagiku.”
“tidak, itu sungguh terjadi pada diriku.”
“aku tidak percaya, bagimana jika suatu saat aku geram dan meninggalkanmu?”
“aku percaya kau tidak akan melakukan itu sayang.”
“tidak, aku bisa saja meninggalkanmu jika aku tak juga mendapat kepastian dari ucapanmu.”
“tapi kepastian yang kuberikan lebih dari ucapan.”
“aku tidak peduli, sekarang kutanyakan padamu, bagaimana bila aku ingin berpisah darimu, apakah kau setuju?”
Aku terkejut, tapi aku berusaha menahan jarum yang tiba-tiba seolah masuk ke dalam dadaku.
“mengapa kau tanyakan itu?”
“kamu tinggal menjawabnya, apakah kau mau?”
“terserah kamu.”
“Bila aku setelah itu menikah lagi dengan perempuan lain?”
“terserah.”
“Lalu bagaimana bila aku sama sekali tidak ingin bertemu kamu?”
“terserah, sudah ku katakan semua terserah padamu.”
“ah! Terserah lagi, terserah lagi, bahkan sampai aku mengancam ingin meninggalkanmu, kau tidak juga berkata bahwa kau mencintaiku?”
“aku tak bisa mengungkapkannya dengan caramu.”
“apakah kau punya kekasih lain?”
“tidak.”
“Apakah ingin pergi dariku?”
“tidak”
“lalu apakah kau ingin selalu bersamaku?”
“terserah padamu, tergantung seberapa lama lagi kau ingin berusaha memahamiku.”
“baiklah, kuanggap kau mencintaiku sekarang. “
“syukurlah kau mengerti.”
“belum selesai, aku tetap tak percaya, bagaimana kau bisa yakin bahwa kau mencintaiku?”

“Ibuku yang bilang, 1 hari sebelum pernikahan kita, saat pertama kalinya aku tak ingin makan seharian , saat pertama kalinya aku tak dapat tidur semalaman.  Aku akhirnya masuk dalam kamar ibuku dan berkata bahwa aku cemas menghadapi hari pernikahanku denganmu. Ibuku tak pernah melihatku secemas itu katanya. Ia tersenyum,  ibu bilang bahwa aku benar-benar sedang jatuh cinta pada seorang pria.”


2011

2 comments: