.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Wednesday, November 30, 2011

EPOCHÉ

Short Story by Rifdaa Amalia Illustration by Roby Dwi Antono



Semua hal di dunia ini pasti memiliki alasan mengapa ia bisa ada di dunia ini, dan mengapa hal itu ada seperti apa adanya saat ini. Aku yakin itu, karena sekarang aku tahu alasan keberadaanku. Tak banyak makhluk yang bisa mengetahui alasan keberadaannya di dunia ini, menurutku hanya orang beruntung saja yang tahu. Bahkan seekor nyamuk penghisap darahpun punya alasan atas keberadaannya, walaupun alasan itu mungkin hanya untuk meneruskan kehidupan para cicak.
Bukan pengorbanan, tapi alasan.
Seperti halnya aku, aku yang menjadi ’ada’ atas pengorbanan ratusan hingga ribuan pohon yang mungkin sebenarnya lebih dibutuhkan oleh kota ini, atas pengorbanan puluhan hingga ratusan rumah-rumah warga yang harus rata dengan tanah karena keberadaanku. Keberadaanku adalah alasan ketiadaan mereka.
Aku adalah keabsurdan alam semesta.
Tak ada akal yang bisa menerima aku ini berpikir. Padalah aku tak lain halnya dengan kau dan mereka, aku ini lah sang penyerap memori. Sebut saja lah aku ini kabel nomor 19 di jembatan pasupati, toh tidak ada yang tahu juga selama ini berapa jumlah kabel di jembatan yang hampir tiap hari mereka lewati ini.


***

Hampir sepuluh tahun yang lalu aku dibangun dikota ini, ribuan warga lewat tiap harinya, aku hapal benar tampang mereka. Terutama para pengendara sepeda motor yang jumlahnya banyak sekali, seperti kecoak.
Hampir tiap malam di bahu jembatan puluhan muda-mudi menepi untuk berkasih-kasih, sekedar menatap kagum pada cahaya-cahaya lampu kota di bawahku, sambil menghisap garpit menghilangkan rasa dingin, atau sambil membawa anggur merah murahan yang baunya tidak enak, padahal tujuan utamanya untuk merayu perempuan-perempuan mereka agar pulangnya bisa singgah dulu ke motel murah.
Heran juga mereka bisa menahan hawa dingin disini.
Sabtu malam jumlah muda-muda ini semakin bertambah, berbagai macam golongan ada. Dari anak sekolah, mahasiswa, sampai karyawan biasa.

Aku paling ingat pasangan yang satu ini.
Hampir setiap malam minggu datang kesini duduk di atas sepeda motor bebek, yang laki-laki merokok terus sambil merangkul mesra yang perempuan. Yang perempuan sering jeprat-jepret dengan kamera tua ke sang utara, kadang juga mengabadikan kemesraan mereka berdua. Yang laki-laki selalu memberikan jaketnya yang sangat tebal seperti kulit babi ke si perempuan.
Begitulah mereka sepasang anak muda dimabuk asmara, yang lainnya tak penting bagi mereka.
Malam minggu kali ini mereka datang lagi, kali ini agak lebih malam dari malam biasanya. Dan malam ini suasana nampak tak seromantis malam-malam sebelumnya.
”Ayo sekarang bilang kenapa Yani ngambek?”  si laki-laki membujuk dengan halus. Si Yani nampak menekuk wajah, merajuk ingin ditanyai.
”Yani kan sudah berapa puluh kali bilang sama A Ijan.”
”Yang mana Yani sayang? A Ijan kan pelupa.”
”Ya Yani bingung di tanyain terus sama si Abah, kapan mau nikah. Yani ini sudah tua loh a. Sudah dua delapan. Keburu karatan nanti.”
Ijan diam.
Nampaknya ada suatu hal yang membuat Ijan ragu.
”Malah A Ijan tidak pernah mau di ajak kenalan sama orang rumah, memang kenapa A? Pasti karena tidak sungguh-sungguh sayang ya sama Yani.”
Ijan membuka mulut.
”Bukan begitu Yan..”
”Lalu apa?”
”Malu..”
”Idih, sejak kapan A Ijan jadi orang pemalu?”
”Sejak jatuh cinta sama kamu, mau menikahi kamu, tapi belum siap bertemu orang tua kamu karena belum mapan”
Yani hampir bicara lagi. Tapi diurungkan niatnya.
Setelah itu mereka pulang dan jembatan sekarang kosong.

***
Aku paling senang memperhatikan pasangan ini. Mungkin karena mereka juga senang memperhatikan aku. Tak jarang mereka memungut sampah yang tertiup angin melewati kaki mereka saat mereka disini. Jangan kau pikir saat kau duduk di sebuah kursi, menangis di atas kasur, menulis di atas meja semua benda-benda itu diam saja. Kami ini seperti chip memori, yang bisa menyimpan segala memori yang terjadi disekitar kami.
Semua yang manusia lakukan itu mengeluarkan energi. Energi yang kalian keluarkan itu menimbulkan gelombang-gelombang yang dapat berpindah-pindah dan dapat menempel pada kami. Karena itu pernahkah kau heran saat kau pergi ke suatu tempat yang memiliki kenangan untukmu, kau mengingatnya dengan sangat jelas. Saat kau duduk di kursi itu, saat kau menangis dikasur itu, saat kau menulis di meja itu, kau melihatnya seperti saat sedang mengalaminya? Jangan berbohong dengan mengatakan tidak. Itu karena kami menyimpan semua memori.
Saat manusia melihatku, aku si kabel nomor 19 jembatan pasupati, aku adalah sebuah objek saja. Kalian merasa bahwa kalian lah pusat dari alam semesta. Aku memang tidak punya mata, tapi aku juga melihat kalian.
Jangan terlalu cepat berasumsi dan berinterpretasi. Tunda dulu. Epoché.
Kata kalian, kalian ada karena kalian berpikir. Tahu dari mana kalian aku ini tidak berpikir. Tahu dari mana kalian aku ini hanya kabel penyanggah jembatan nomor 19?

***

Aku ingat saat Ijan memberi kejutan ulang tahun kepada Yani disini. Sudah disiapkannya bunga-bunga dan tempelan-tempelan bertuliskan ’HEPI BIRD DAY YANI’ yang di tempelnya di beton-beton jembatan. Dan bagaimana tampang Yani yang saat itu habis dibedakinya dengan sangat tebal, terkejut senang. Pulangnya mereka berpelukan erat, entah menuju gedung bioskop entah menuju gedung motel murah.

***

Dua malam berikutnya pasangan ini datang lagi. Kali ini suasananya agak sedikit hangat di banding malam sebelumnya. Ijan menyalakan rokoknya.
”Aku tuh bingung Yan, kakakku itu tidak pulang-pulang sudah hampir setahun. Anaknya ditinggal saja di rumah Ayah Ibu. Sudah pintar ngomong sekarang ponakanku itu. Bapaknya belum juga kelihatan batang hidungnya.”
”Istrinya memang kemana A?”
”Pulang kampung”
Ijan menghembuskan asap rokok.
”Ya begitu jadinya Yan kalau nikah tapi bunting duluan. Belum siap uangnya udah brojol. Jadinya ya begitu itu, kabur. Garelo.”
”Jadi A Ijan takut seperti itu makanya belum mau nikahin Yani?”
Ijan  menghisap rokoknya dalam-dalam.
”Yasudah Yan, Besok aku kerumah Yani. Ketemu Abahnya Yani. Biar mampus di gorok juga tetap datang.”
Yani sumringah.

***

Aku juga ingat saat mereka pertama kali menjadi pasangan kekasih. Saat itu Ijan masih malu-malu. Mau pegang tangan Yani malu. Mau merangkul pundak malu. Mau pegang yang lain juga malu. Mereka diam saja duduk menatap pemandangan Bandung Selatan. Yani yang kedinginan menggenggam erat gelas plastik berisi bandrek yang baru mereka beli di warung kopi di daerah kebon bibit.
Saat itu Ijan mengatakan hal yang paling romantis, yang bahkan aku pun gugup mendengarnya. Dia bilang ”Tak perlu deh A ijan ke menara Eiffel, di jembatan pasupati juga asal ada Yani sudah senang bukan kepalang”. Mungkin terdengar agak menjijikkan bagi sebagian orang, murahan sekali rayuannya. Tapi bagiku saat itu Ijan bukan hanya merayu Yani, tapi merayuku juga. Gilak, aku disandingkan dengan menara Eiffel.

***

Hampir seminggu kemudian setelah Ijan berjanji akan datang ke rumah yani, Ijan datang lagi kesini. Menepi di bahu jembatan, di atas motor bebek kesayangannya. Tapi kali ini tanpa Yani. Janggal rasanya melihat sosok Ijan  merenung sendiri sambil merokok, kali ini sambil menenggak bir murah.
Telepon genggam Ijan berdering.
”Apa?” jawab Ijan ketus.
”Tidak... Tidak kok Tidak mabok..”
”Kenapa sih? Ha? Masih sakit hati? Halah sudah lupakan saja Yan.. aku ini kan emang dari keluarga tidak benar..”
”Ck, memang benar Abah kamu. Aku ini bisa bawa bibit buruk buat keluarga.. mana tidak punya kerjaan tetap, mau kasih kamu makan apa nanti”
”Tidak perlu tahu aku dimana...”

***

Seminggu kemudian aku belum juga melihat Ijan dan Yani berkasih-kasih lagi disini.  Rindu juga aku pada kemesraan mereka. Kadang aku melihat Yani lewat sendiri dalam taksi, atau naik mobil bersama bapak-bapak yang kuduga sebagai Abahnya. Kadang aku juga melihat Ijan lewat-lewat bersama motor bebeknya, tapi kali ini tanpa menepi. Sehari dua hari masih sendiri, lama-lama sudah membonceng perempuan lain.
Kompleks sekali manusia-manusia ini. Mereka adalah absurditas absolut. tidak ada yang bisa mengerti jalan pikiran mereka. Dasar para manusia ini semuanya penganut poly-amour. Tak cukup bagi mereka satu sumber kasih sayang. Harus punya empat pula mereka.
Mereka mencari-cari agape, cinta Tuhan pada manusia. Mendambakan filia, cinta orang tua ke anaknya. Mengharapkan storge, cinta manusia ke manusia lainya, dan yang terakhir, yang menurutku paling tak terdefinisikan, menyanjung eros, cinta manusia kepada kekasihnya.
Serakah.

***

Suatu hari lagi dimana aku sudah tidak ingat lagi kapan, Ijan datang lagi kesini lalu menepi sendiri. Menangis dia sesunggukkan. Entah apa yang terjadi padanya, rindu pada Yani kah, atau kakaknya meninggal kah atau burungnya di sunatkah. Tidak tahu aku. Yang jelas hampir tiap malam dia datang kesini lalu menangis sendiri. Akhirnya dia memutuskan juga ingin bertemu Yani.
Esok malamnya sudah ada mereka berdua lagi di atas jembatan ini. Jelas sekali keduanya rindu tapi tak mau ketahuan.
“Aku minta maaf atas ucapan abah A. Masih sakit hati kah?” kata Yani ragu memulai percakapan.
Ijan diam saja.
”A Ijan, jangan bungkam dong. Ada apa sebenarnya kok sampai mengajak bicara kesini?”
Ijan menatap Yani lalu diam lagi.
Hari ini udara sangat dingin, langit mendung. Kuperkirakan beberapa menit hujan akan turun.
”Aku buntingin anak orang Yan.” Kata Ijan tak berani menatap mata Yani.
Yani bengong. Tak sanggup berkata apapun.
Setelah itu kejadiannya sangat cepat. Aku bahkan tidak ingat detailnya lagi. Setelah itu Yani ngamuk-ngamuk minta di antar pulang, bertepatan dengan tetes pertama yang jatuh membasahi jembatan ini. Ijan yang masih berusaha menjelaskan pada Yani ditaboknya tak kenal ampun. Yani yang masih ngamuk-ngamuk tetap keukeuh mau pulang, saat Ijan menyalakan sepeda motornya dan membelokkannya ke jalan dengan cepat, sebuah truk pengangkut bambu tak bisa menginjak remnya lagi.
Setelah itu ramai.

Aku tahu Yani sudah tergilas truk. Sekarang tak bisa lagi dia menatap aku, hanya aku yang bisa menatapnya. Kali ini sebagai sebuah objek, seonggok daging.
Ijan meraung-raung, dirinya sendiri luka-luka tapi tak dihiraukannya.

***

Berapa minggu sudah lewat. Mungkin berapa bulan. Aku sudah tidak mengingatnya lagi semenjak Yani dan Ijan tidak pernah lagi datang kemari. Kuhabiskan waktuku memperhatikan pasangan-pasangan lain. Sama romantisnya dengan Yani dan Ijan, beberapa malah berani berciuman.
Disuatu malam yang sepi, saat itu hampir jam tiga pagi. Aku melihat sosok Ijan dan sepeda motor bebeknya. Menepi di bahu jalan, menghadap ke utara kota. Lama dia disana, diam saja seberti beton.
Satu Jam kemudian dia masih disana. Mematikan rokok terakhirnya.
Dia memanjat pagar beton jembatan. Diam sebentar. Tidak ada kendaraan yang lalu lalang.
Dia melompat.

***

Semua hal di dunia ini pasti memiliki alasan mengapa ia bisa ada di dunia ini, dan mengapa hal itu ada seperti apa adanya saat ini. Aku yakin itu, karena sekarang aku tahu alasan keberadaanku.
Alasan keberadaanku awalnya mungkin saja hanya untuk menyatukan jalan pasteur dengan jalan suropati. Alasan berikutnya adalah ada untuk Ijan dan Yani.  
Mungkin jika aku tidak pernah dibangun sepuluh tahun  yang lalu, Yani sekarang masih jaga warung di rumah Abahnya, atau masih kerja di bank, atau bahkan sudah menikah dengan laki-laki lain, bukan Ijan. Mungkin ijan sekarang sudah jadi Ayah yang bertanggung jawab, sudah bekerja, sudah tidak ingat lagi sama Yani.
Tapi nyatanya aku ’ada’ saat ini.
Keberadaanku adalah alasan ketiadaan mereka.

No comments:

Post a Comment