Short Story by Andreas Anex, Photography by Rukii Naraya
Pertengakaran ini bukan yang
pertama bagi kami. Suamiku selalu tak dapat menerima ungkapan cintaku padanya.
Bagiku ia hanya belum mengerti.
Malam ini mungkin puncak kengambekkannya. Dengan lembut ia menyingkirkan tubuhku ke sampingnya
setelah ia bertanya apakah aku mencintainya, dan aku jawab terserah padamu.
Setelah kata-kata itu ia memunggungiku di tempat tidur. Kami tidak jadi
bercinta. Aku heran,
“Tidakkah kata terserah yang
selalu kuucapkan membuatmu merasa istimewa?”
“Tidak sama sekali.” katanya
sambil menepis belaianku di wajahnya. Aku berusaha membalikkan dengan lembut
wajahnya ke arahku.
“mengapa?”
“Karena kau selalu bilang
terserah, begitu juga saat ku tanya apakah kau cinta padaku.” Ia berbicara
dengan nada yang berat, namun aneh, bagiku terdengar seperti ambekkan anak kecil yang kehilangan
permen di ujung mulutnya. Aku berusaha untuk tetap merayunya.
“Bagiku itu tanda cintaku
terhadap seseorang.”
“Bagaimana mungkin? Tidak ada
wanita yang menyatakannya selalu dengan kata terserah.”
“Bila begitu, kau tidak mengerti
diriku.”
“Terserah!”
“Nah! Kau baru saja mengatakan
kata itu. Bagiku kau sudah mengerti. Ayolah kita lanjutkan lagi.”
Belaianku tetap saja
diacuhkannya. Mungkin gairahnya sudah hilang.
“Aku tidak bilang bahwa aku
sedang berbaik hati untuk menyatakan cintaku, aku sedang sebal.”
“Tapi kau baru saja bilang
terserah.”
“Itu justru karena aku tak tau
harus berkata apa lagi padamu.”
“Begitu juga dengan terserah
milikku, aku begitu tulus sehingga aku tak perlu lagi berusaha untuk
mengertimu.”
“bukan itu maksudku.”
“lalu apa?” rayuku untuk kembali
memulai percintaan. Gairahku masih tersisa.
“Mengapa kau tak bilang bahwa kau
mencintaiku, bahkan saat pernikahan kita.”
“Saat pastur menanyakan apakah
aku mencintaimu, aku bilang terserah. Itulah tanda cintaku.”
“Tapi tak ada yang tau!.” Kata
suamiku seolah ia sedang mmemanggil kembali kekecewaan 1 tahun yang lalu.
“Untuk apa yang lain perlu tau?”
“Ahh! Terserah kau saja, kau
selalu pandai berbicara.”
“Tuh kan, kamu menyebut kata
terserah lagi, sudahlah, tak usah dibahas.” Huruf r terahkir iti ku kubisikkan
di telinga kananya, tapi ia kembali menggeser wajahku menjauhinya. Bagiku ini
bukan sebuah pertengkaran, percakapan ini hanya permainannya agar aku tetap merayunya.
Suamiku terlalu serius memandang segala hal. Mungkin itu juga yang
menjadikannya seorang Peneliti dalam bidang matematika. Baginya mungkin segala
hal harus dijelaskan. Tapi bagiku tidak.
“Bagaimana terserah dapat menjadi
ungkapan cintamu?”
“Aku selalu mengatakan itu pada
ibuku sewaktu kecil.”
“untuk apa?”
“Untuk memahaminya. Sewaktu kecil
aku tak tau apa yang harus kulakukan. Di saat aku lelah bermain sendirian di
taman belakang, ibuku bilang bahwa aku sudah kotor, ia bertanya apakah aku
perlu mandi. Aku menjawab terserah sedangkan aku merasa masih ingin bermain. Di
sore yang lain ibuku bilang bahwa aku sudah lapar, ia bertanya apakah aku harus
makan. Aku bilang terserah, lalu aku makan sedangkan aku belum lapar. Tapi ku
kira ibu sangat mencintaiku, dan ia tau apa yang harus kulakukan.”
“Lalu mengapa kau ingin
melakukannya, sedangkan kamu tau kau tidak ingin?”
“Justru itu, terkadang aku sadar,
untuk membalas cinta seseorang, aku harus menghargainya, dan melupakan egoku.”
“Lalu apakah kata terserah itu
kau ucapkan pada setiap orang?”
“Pasti tidak, aku hanya
mengucapkannya pada orang yang kucintai.”
“Pada orang lain?”
“Aku akan menjawabnya dengan
tegas, ia atau tidak.”
“Mengapa kau bisa mengatakan itu
pada orang lain, sedangkan padaku tidak?”
“ya itu, karena aku tidak
meletakkan perasaan apa pun pada kata iya dan tidak itu.”
“Aku tidak mengerti.”
“Sewaktu kecil, di malam hari ibu
bilang bahwa aku sudah mengantuk, aku tau itu adalah cara agar aku tidur. Aku
tidak sedang mengantuk saat itu, tapi aku menurutinya. Ia bertanya apakah aku
ingin tidur?Aku tau niat baik di balik kata-katanya. Aku jawab terserah, dan
aku berusaha untuk tidur.”
“Lalu bagaimana kau berharap seseorang
tau bahwa kata terserah itu adalah pernyataan cintamu bagi seseorang?”
“Dengan berusaha mengerti
bagaimana aku. Dan memang itu juga yang kulakukan saat aku berusaha mengerti
maksud baik ibu.”
“ah, kau ini pengarang, kau pasti
sudah menyiapkan cerita itu bagiku.”
“tidak, itu sungguh terjadi pada
diriku.”
“aku tidak percaya, bagimana jika
suatu saat aku geram dan meninggalkanmu?”
“aku percaya kau tidak akan
melakukan itu sayang.”
“tidak, aku bisa saja
meninggalkanmu jika aku tak juga mendapat kepastian dari ucapanmu.”
“tapi kepastian yang kuberikan
lebih dari ucapan.”
“aku tidak peduli, sekarang
kutanyakan padamu, bagaimana bila aku ingin berpisah darimu, apakah kau
setuju?”
Aku terkejut, tapi aku berusaha
menahan jarum yang tiba-tiba seolah masuk ke dalam dadaku.
“mengapa kau tanyakan itu?”
“kamu tinggal menjawabnya, apakah
kau mau?”
“terserah kamu.”
“Bila aku setelah itu menikah
lagi dengan perempuan lain?”
“terserah.”
“Lalu bagaimana bila aku sama
sekali tidak ingin bertemu kamu?”
“terserah, sudah ku katakan semua
terserah padamu.”
“ah! Terserah lagi, terserah
lagi, bahkan sampai aku mengancam ingin meninggalkanmu, kau tidak juga berkata
bahwa kau mencintaiku?”
“aku tak bisa mengungkapkannya
dengan caramu.”
“apakah kau punya kekasih lain?”
“tidak.”
“Apakah ingin pergi dariku?”
“tidak”
“lalu apakah kau ingin selalu
bersamaku?”
“terserah padamu, tergantung
seberapa lama lagi kau ingin berusaha memahamiku.”
“baiklah, kuanggap kau
mencintaiku sekarang. “
“syukurlah kau mengerti.”
“belum selesai, aku tetap tak
percaya, bagaimana kau bisa yakin bahwa kau mencintaiku?”
“Ibuku yang bilang, 1 hari sebelum pernikahan kita, saat pertama kalinya aku
tak ingin makan seharian , saat pertama kalinya aku tak dapat tidur semalaman. Aku akhirnya masuk dalam kamar ibuku dan
berkata bahwa aku cemas menghadapi hari pernikahanku denganmu. Ibuku tak pernah
melihatku secemas itu katanya. Ia tersenyum, ibu bilang bahwa aku benar-benar sedang jatuh
cinta pada seorang pria.”
2011
nyosss
ReplyDeletejossss
ReplyDelete