.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Saturday, October 29, 2011

MICHAEL ALEXANDER



Lelaki itu duduk di depan sebuah televisi. Ruangan ini cukup luas, semua berwarna putih ketika pertama kali aku memasukinya. Dalam ruangan itu hanya ada sebuah meja besar, sebuah laptop, serangkaian kertas-kertas, alat tulis dan televisi.

“Jadi ingat, Saya dan teman-teman pernah ditodong pistol oleh polisi karena dikira pengedar narkoba” ia berkomentar tentang sebuah berita yang muncul di televisi. Kemudian ia menekan remote untuk mematikan televisi dan beranjak ke salah satu tembok, kemudian ia mulai menggambar dengan sebuah spidol. Sepertinya ia sedang menyelesaikan sebuah mural.


Saya senang sekali mencorat-coret dinding dan sofa putih kesayangan ibu saya semenjak kecil, dan pada akhirnya saya berkenalan dengan dunia seni itu ketika sekolah dasar”

 “Ibu saya pernah menghadiahkan saya dua buah buku ensiklopedi berbahasa inggris hadiah dari kupon supermarket. Dalam buku itu terdapat berbagai macam karya seni yang mengisi mata saya dan membuat saya jadi bertanya-tanya tentang apa itu 'seni rupa'?”

“Pada waktu itu saya menyimpulkan kalau seni rupa itu berkaitan dengan benda-benda yang indah” “Hahaha”, tawanya membuat matanya semakin kecil.

Michael Alexander. Lelaki oriental berambut keriting, sekarang ia masih melanjutkan studinya di Institut Teknologi Bandung, Jurusan Desain Komunikasi Visual.
“Sedari kecil saya hidup dengan orangtua di Pamulang, di daerah Tangerang Selatan. Di lingkungan ini saya mengenal yang namanya diskriminasi dan mengenal arti seorang sahabat secara bersamaan, tentang toleransi dan kesetiakawanan. Keluarga saya dan saya beragama Kristen, keluarga saya adalah satu dari dua keluarga kristen yang ada di sekitaran gang rumah kami”
“Hal ini membuat saya mengenal agama dan ras lain sedari kecil. Mungkin juga bisa jadi hal-hal inilah yang mempengaruhi karya-karya saya.”

“Kenapa kamu memilih dunia ini, Alex?” Tanyaku memulai interview.
“Saya memilih dunia ini hanya berdasarkan 'suka' yang berkembang menjadi 'jatuh cinta', karena seni rupa itu misterius dan saya berusaha untuk mengenalnya lebih dalam lagi.”
“Berkarya membuat saya bahagia, dan menurut saya 'bahagia' itu perasaan yang sangat menyenangkan untuk dialami.”

“Saat ini apa mediamu untuk berkarya?”
“Saya memiliki beberapa periode dalam pemilihan media yang saya gunakan untuk berkarya, tetapi kebanyakan dari itu semua saya memilih drawing pen atau ballpoint merek Pilot yang berharga ramah di kantong saya (yang menurut saya nyaman sekali digunakan) dan kertas apapun.”

“Saya pernah mencoba-coba bermain dengan media vektor, digital coloring, lukisan, drawing on canvas sampai sculpting, tetapi itu semua belum saya perdalam lebih jauh, karena menurut saya jenis-jenis media yang dituangkan tidak seharusnya dipermasalahkan, entah itu manual ataupun digital, 2D ataupun 3D.”

“Apa yang ingin kamu sampaikan?”
“Saya ingin bercerita macam-macam, sebagian besar dari mereka bercerita sesuatu yang didasari dari apa yang saya alami dan apa yang saya lihat, sebagian lainnya saya buat secara intuitif. Dan tentu saja, saya belum matang menjadi seorang ilustrator atau designer grafis, saya masih belum merasa cukup dengan karya-karya saya, bukan dari tehniknya namun dari konsep dan juga kematangan dari rancangan dan persiapan karya itu sendiri.”

“Saya mencatat ada satu karya yang benar-benar mempengaruhi saya, yaitu 'Barong The Dream Walker', dari karya ini saya mulai mencoba untuk memperdalam pengetahuan saya tentang Indonesia itu sendiri.
“Karya itu berbicara tentang pengalaman saya sendiri pada saat saya masih kecil, saya pernah bermimpi buruk dikejar barong setelah menonton sendratari ramayana yang saya hadiri dalam rangka study tour

Beberapa saat kemudian, aku tersadar bahwa ruangan ini tidak lagi berwarna putih, melainkan semakin berwarna.
“Ruangan ini adalah imajinasi”
“Ketika kita berbincang, sama seperti berimajinasi, dan imajinasi itu yang menciptakan warna-warna ini”
Benar saja, ketika aku perhatikan warna-warna itu bercipratan dari ujung ujung ruangan.
“Menyenangkan sekali”


“Siapa yang mempengaruhimu dalam berkarya?”
“Salah satunya adalah senior saya yang bernama Satrio Josai, dia menjadi trigger saya dalam pembuatan karya-karya yang menggunakan elemen Indonesia di dalamnya, begitu juga dengan kang Bima Nurin dan kang Sweta Kartika dari kampus saya, karya mereka berdua menjadi trigger yang baik untuk berkarya. Begitu juga dengan Alan Moore & Skottie Young.”

“Saat ini kamu menjadi seorang freelance designer, ada cerita menarik?”
“Saat berkutat di dunia kreatif secara amatir, hal yang saya temukan menarik itu adalah 'dorongan' tak terlihat yang terus membujuk diri untuk membuat sesuatu yang unik yang pada akhirnya berperan besar dalam membuat sebuah karya baik untuk klien maupun karya personal. Dari 'dorongan' ini membuat saya terus mencari hal-hal baru yang menarik, terutama dari kebudayaan dan tradisi Indonesia, baik secara visual maupun konsep-konsepnya. Semua hal ini saya alami saat saya menjalankan kuliah saya, dan berkembang lebih lanjut setelah saya menyelesaikan Kerja Praktek di Leboye Design Jakarta.”

“Pertama kali membuat karya untuk klien saat saya masih menjalankan kuliah tingkat 1 di kampus saya, membuat sebuah branding acara untuk sekolah SMA saya bernama 'Around The World'. Saya mencatat ada 3 project yang menurut saya menantang untuk dikerjakan, saya pernah menjadi Visual Director Pasar Seni ITB 2010 yang merupakan tantangan yang sampai saat ini saya temukan paling menarik dan menantang, saya juga pernah membuat design kaos dan juga kalung untuk Dia.Lo.Gue store di Jakarta dan yang terakhir adalah video art untuk dijadikan bumper acara Artmosphere Jakarta 2010 bersama tim.”

“Itu pengalaman yang menyenangkan, apa ada hal yang membuatmu merasa gundah?”
“Pada dasarnya, saya adalah orang yang bersemangat dan cepat dalam bekerja. Namun saya menemukan hal ini bisa menjadi jebakan yang berbahaya. Pengalaman yang tidak menyenangkan dalam membuat karya dengan terlalu meledak-ledak membuat saya belajar untuk membuat karya dengan pengendalian diri dan juga kejernihan berpikir, kematangan persiapan dan juga keteguhan hati dalam membuat karya itu. Karena, kalau semua itu tidak terpenuhi, menurut saya karya itu pada akhirnya akan berbicara kosong belaka.”
“Walaupun karya yang berbicara kosong bukanlah sebuah tabu” 

Dan selesai ia berkata, ruangan ini jadi benar benar berwarna.

*Percakapan imajiner Rukii Naraya dan Michael Alexander

No comments:

Post a Comment