.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Saturday, October 29, 2011

ELLA WIJT

Oleh Rukii Naraya


Ella duduk di salah satu sudut di dalam ruangan itu, di pangkuannya selembar papan hardboard berukuran 50 cm x 50 cm. Matanya tajam menjelajahi tiap sudut ruangan. Kemudian sekejap lengannya menari, menggoreskan tiap garis pada tubuh papan hardboard berwarna coklat itu.

Ella Wijt, perempuan muda itu tenggelam dalam dunia warna-warninya.
Terlahir dengan nama Emanuella Wijayanti 20 tahun yang lalu, Ella mempunyai masa kecil yang tidaklah berbeda dengan anak-anak kecil kebanyakan. Namun ada sesuatu yang menarik dalam diri gadis kecil itu. Ia sangat senang memperhatikan apa yang ada di sekitarnya, memikirkan bagaimana membuat sebuah objek yang ia lihat tersebut dalam sebuah goresan-goresan dari tangannya. Sifat tersebut terus bergelimang dan berkembang di dalam dirinya.


“Aku sangat mencintai dunia melukis.”
“Seperti sedang membahagiakan tubuhku sendiri”

Saat berusia 15, pamannya yang juga seorang pelukis mengajaknya untuk ikut berpameran. Itulah pameran pertama yang ia ikuti. Setelah itu ia sering diajak untuk mengikuti sebuah pameran di berbagai tempat. Ia menggelar pameran tunggal pertamanya tepat ketika ia menginjak usia tujuh belas tahunnya bertajuk “Its Just Been Started!”. Sebanyak 45 karya lukisannya digelar dalam rangka merayakan ulang tahunnya tersebut.

Setahun kemudian ia kembali menggelar pameran tunggal bertajuk Chasing After Wind (Menjaring Angin) di Museum Nasional, Jakarta. Ketika itu ia masih menjadi seorang pelajar SMA.
Chasing After Wind ini mencoba untuk menyampaikan pesan perdamaian di Indonesia ini. Pesan yang disampaikannya lewat strawberry dan ratusan origami burung burung bangau.

“Di Jepang banyak anak gadis memohonkan permintaannya dengan membuat origami burung bangau dalam jumlah banyak, yang kemudian mereka berdoa memohonkan keinginan mereka”
Sederhana, begitulah seorang Ella dalam berkarya.

“Percaya apa tidak, orang-orang lebih suka dibohongi dari pada jawaban jujur.”
“Misalkan mereka bertanya karyamu ini pesannya apa? Kalau aku menjawab, ya tidak ada pesan apa-apa, aku senang aja menggambar ini”
Suatu ketika kami mengobrol tentang apa pesan dibalik sebuah karya.
“Respon mereka pasti biasa aja, kadang cenderung meremehkan. Tapi kalau aku jawab komposisi karya ini sebenarnya menceritakan blab la blab la… pasti mereka akan tercengang, bilang ini bagus, padahal karyanya sama aja”
“Memang mungkin mereka melihat karya seni itu sebagai tanda, ya semua tergantung masing-masing”
“Bagiku art is suppose to be for fun. Dan aku berkarya bukan untuk dipuji, tapi ya itu tadi aku berkarya karena aku mencintainya seperti membahagiakan diriku sendiri.”

Berkat karya-karya Ella mendapatkan beasiswa berkuliah di School of The Art Institue of Chicago. Kemudian ia juga berangkat ke Taiwan memenuhi undangan dari Dr. Sun Yat Sen Foundation untuk berpameran bersama seniman dari sana. Ia salah satu dari empat seniman senior yang diundang, ketiganya adalah Kartika Affandi, Maria Tjui dan H. Hardi.

Saat ini ia sedang melanjutkan studinya di Fine Art di Nanyang Fine Art University di Singapura. Tak banyak anak-anak muda yang mau memilih jurusan seni murni di zaman yang serba digital ini.
“Dari begitu banyak orang Indonesia yang kuliah disini, di angkatanku hanya 2 orang yang memilih Fine Art”
“Kalau ditanya mereka pasti akan menjawab, mau kerja di mana kalau ambil jurusan Fine Art?” selorohnya tentang teman-temannya di kampus.
Yah, yang jelas Ella akan terus berkarya tanpa beban. Merajut imaji-imajinya lewat goresan-goresan tangan berkembang menjadi seorang Ella Wijt yang ia inginkan.

No comments:

Post a Comment