.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Saturday, October 29, 2011

FRANSISCA RETNO

By. Rukii Naraya


Tiba-tiba saja laki-laki itu memberikan sebuah pesan singkat pada facebook saya. Dia menyebut dirinya Desta. Mengajukan keinginannya untuk menginterview saya untuk zine independen yang dimilikinya.
Dan lewat ruat elektronik yang berlangsung cukup lama, disela kesibukan saya akhirnya saya saya berhasil menyelesaikan cukup banyak pertanyakan diajukannya.

Cerita dimulai dari dimana saya sebagai seorang gadis kecil yang biasa saja.
Ya, sewaktu kecil Fransisca Retno adalah seorang gadis cilik biasa seperti gadis sepantaran lainnya, dibesarkan dalam  lingkungan keluarga jawa-katolik yang taat dan mengenyam pendidikan di sekolah- sekolah yang selalu dinaungi oleh yayasan pendidikan katolik, TK. Santo Yoseph Bandung, SD Santa Maria Surabaya, dan SLTP Regina Pacis Jakarta.
Di masa kecil memang saya selalu berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti kemana orang tua dinas. Hal itu mungkin juga mempengaruhi kepribadian si saya kecil menjadi sedikit pemalu dan tertutup. Karena tidak punya teman—Perasaan saya

Hari-hari saya diisi dengan menggambar sebagai ‘teman baru’. Belum selihai saat ini, saat itu apa saja saya gambar, dari lantai sampai tembok, lipstik ibu pernah jadi korban. Ibu saya pun membelikan saya komik dan buku cerita bergambar. Saat itulah kali pertama saya belajar menggambar yang terstruktur dengan menjiplak dan mengikuti kontur bentuk tokoh idola saya. Jadi menurut saya ‘menjiplak itu perlu, untuk konteks belajar tentunya.

Semakin tumbuh dewasa, saya memutuskan untuk keluar dari dunia ‘aman’ saya dan berpengalaman sebanyak-banyaknya. Pengalaman estetis, saya namakan. Selulus dari SMP saya pun berontak dari jalur ideal orang tua, malahan masuk ke sekolah negeri, SMUN 78, jiwa seni saya semakin terpupuk walaupun sarananya tidak memadai, setidaknya menurut saya. Saya pun pernah menjadi tim kreatif majalah sekolah, tapi tidak cukup memberikan ruang berkembang bagi saya  bila berada di dunia yang ‘mendewakan ilmu eksakta.

Lulus dari SMU saya melalui suatu dilema. Talent, interest, dan passion saya jelas-jelas pada bidang kesenian, khususnya wilayah seni rupa, tapi judgement dan tuntutan sosial pada saat itu mengharuskan saya berkompromi dan mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual di FSRD Trisakti. Saat itu saya belum paham apa itu dan bagaimana dunia desain grafis. 

Bakat dan kemauan sangat membantu saya survive sehingga saya dapat lulus lebih cepat 3,5 tahun. Tapi jalan hidup dan passion saya selalu mengarah ke dunia ilustrasi. Beberapa kali saya mencoba bekerja kantoran sebagai desainer grafis, di advertising lokal, majalah fashion, majalah anak, sampai menjadi art instructor di sebuah lembaga kursus menggambar anak-anak. Namun pola bekerja ’kantoran di dunia grafis tidak pernah bertahan lama pada saya. Apalagi dengan sistem lemburnya.

Selama menjadi mahasiswa saya seringkali diperbantukan untuk menjadi assisten mahasiswa, biasanya mata kuliah gambar, sampai pada suatu saat seorang senior memperkenalkan saya pada sebuah komunitas ilustrasi, Maros Visual Culture Initiative namanya.

Maros adalah bentukan idealisme dari Adikara dan David Tandayu. Dua orang yang paling berpengaruh dalam saya mengambil keputusan untuk berkesenian. Beliau berdua ini adalah dosen. Mas Adikara ’panggilan saya, penggagas Maros, sekarang adalah dosen di Trisakti dan Bina Nusantara, sedangkan Ka David dulunya adalah senior, alumni DKV Trisakti, Dosen di Trisakti dan Binus, namun sekarang mengajar di Binus saja sambil melanjutkan S2-nya di UI antropologi dan tentunya mengurus yayasan Maros.

Di Maros saya pertama kali diajarkan mengenai konsep keindahan selain teknik dan media. Apakah indah itu harus selalu yang rapih, bagus, teratur, sistematis sesuai proporsi atau suatu yang chaos juga bisa dipandang menjadi keindahan. Indah dalam kecacatannya. Perspektif saya menjadi terbuka tentang konsep keindahan dan menjadi lebih kaya karena diberikan ruang untuk melihat dari sudut pandang lain.
Pameran ”Siklus’ adalah kali pertama saya berpameran ilustrasi. Karya-karya tugas Maros saya dipajang dan diapresiasi oleh teman teman saya, baik sesama illustrator maupun bukan. Rasanya saya mulai jatuh cinta pada dunia ini.

Label bahwa saya adalah seorang illustrator terus dikenal dari mulut ke mulut. Pekerjaan freelance datang silih berganti, kadang terasa overlapping dan tidak ada habisnya, tapi syukur saya punya komunitas yang selalu membantu bila saya overlap, atau bahkan melempar pekerjaan bila saya sedang ’kering’. Kadang pekerjaan juga dapat dari teman-teman di luar komunitas. So, Friends are my biggest asset.

Selain sebagai illustrator saya juga bekerja sebagai dosen tidak tetap di Universitas Tarumanagara sejak Maret 2010. Kesempatan dan  pengalaman hampir 4 tahun menjadi assisten mahasiswa kemudian assisten dosen di almamater serta kecintaan saya berbagi ilmu yang membuat saya berada pasa posisi tersebut. Dosen adalah profesi yang dapat membuat saya terus belajar sembari mengajar. Dan dari kecintaan saya mengajar inilah yang mendorong saya kembali belajar dan menimba ilmu di Institut Teknologi Bandung Magister Seni Rupa. Kedua profesi inilah yang membuat saya merasa lengkap dan seimbang.

----

”Siapa yang mempengaruhimu dalam berkarya?” setelah jeda panjang, laki-laki itu kembali bertanya.
Saat ini bila ada yang bertanya siapa yang mempengaruhi saya dalam berkarya, pasti merupakan pertanyaan yang paling sulit. Jelasnya saya ini gado-gado, terlalu banyak yang mempengaruhi saya. Ketika kecil jelas saya terpengaruh karya-karya komik Fujiko F. Fujio dengan Doraemonnya,  Sailor moon dari Naoko Takeuchi, Topeng Kaca-nya Suzue Miuchi. Monika dan kawan-kawannya Mauricio de Sousa, dan lain lain. Sedang saat ini saya sangat terinspirasi karya-karya dari komikus lokal Akademi Samali seperti, Mas Beng Rahardian, Sheila Rooswhita Putri, dan kawan-kawan.
Untuk dunia seni rupa ada Frida Kahlo, Diego Rivera dan sahabatnya Fernando Botero, Andy Warhol dan sahabatnya Jean Michel Basquiat, Jackson Pollock. Baru-baru ini saja saya terkagumi oleh karya-karya dari senirupawan Indonesia dari Bandung dan Jogjakarta, seperti Tisna Sanjaya, Agus Suwage, F X Harsono, Nyoman Nuarte, Bob Sick, Ugo Untoro dan S. Teddy D.

”Menurutmu, bagaimana dengan karyamu?”
Karya yang saya buat masih bertaraf ’eksperimen. Belum terlalu matang dan masih pada tahap pencarian jati diri. Namun beberapa relasi membaca style dan karakter ilustrasi saya adalah children illustration dengan penggunaan warna-warna yang cheerfull. Untuk kepentingan belajar-mengajar saya juga dapat menggambar realis sesuai dengan proporsi dan perspektif ideal menurut pedoman Barat.

”Apa yang kamu rasakan ketika berkarya” tanyanya lagi.
Perasaannya ketika berkarya itu sama ibaratnya seperti ketika sedang 'kebelet'.. setelah lari ke kamar mandi baru lega,, haha ya itulah dorongan alam mungkin istilahnya, ada gagasan atau uneg-uneg di kepala saya ketika dituangkan dlm karya baru 'berasa' lega, kalau tidak bisa nightmare nantinya hehe agak hiperbola sedikit.

Karya saya sendiri yang berpengaruh dalam hidup saya?
Hampir semua karya- karya saya mempengaruhi saya, baik yang punya narasi kecil maupun narasi besar karena semua karya tersebut punya latar belakang di dalamnya, entah itu sekecil hanya latihan, curahan hati, sedang senang, habis diputusin pacar, mencoba bersyukur, sampai gagasan yang sengaja di konsep untuk pameran.

Tapi ketika diharuskan untuk memilih, mungkin saya akan memilih karya pertama saya di atas kanvas yang di anggap punya kualitas layak pamer yaitu yang berjudul Emulasi Fernando Botero: 'Spank!'. Karya pertama saya yang mengapriori karya seniman dr Amerika Latin Fernando Botero. *apriori dalam hal ini adalah mengintepretasi ulang karya yang sudah ada (biasanya dari karya seniman besar yang menjadi referensi modelnya.)

Sampai saat ini sebagian penghasilan saya disupport dari pekerjaan lepas saya sebagai illustrator. Oleh karena itu selain sebagai akademisi sayapun mempunyai misi dengan berkarya untuk memperkenalkan dunia ilustrasi kepada generasi muda, memberikan ‘kesadaran’ kepada mereka yang terpanggil bahwa dunia ini ada, belum tergarap, dan cukup menjanjikan untuk kesejahteraan bila diolah dengan baik. Saya percaya dengan komitmen berkarya, seniman tersebut dapat survive bahkan dapat menciptakan pasarnya sendiri dan menjadi sebuah profesi di luar dunia idealismenya.

Proyek selanjutnya saya sedang mempersiapkan pameran mandiri bersama teman-teman kuliah dari ITB dan juga Pameran Seni Rupa dalam rangka memperingati Dies Natalis XVII FSRD Tarumanagara.

”Hal yang menggambarkan dirimu?” itu pertanyaan terakhir katanya.
saya suka keragaman, dan saya tidak suka kecoa!

No comments:

Post a Comment