.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Saturday, October 29, 2011

CLAUDE CAHUN : Politik Sensual Fotografi

Dari buku Claude Cahun : A Sensual Politics Of Photography ditulis oleh Gen Doy
diterjemahkan oleh: Haviez Maulana         
Gambar 1, sesuai dengan pandangan era posmodernisme, abad ke dua puluh satu, yang lazim dengan tato, piercing, tata rambut yang berlebihan, dan sejumlah ketakbiasaan serta manupulasi daya cipta lainnya sebagai perwujudan diri: seorang tokoh berkepala gundul berdiri dengan punggung menghadap kita, menatap ke samping untuk memberi kesan akan dagu lancip, hidung bengkok, mulut rapat, dan rahang memanjang. 
Alisnya tampaknya telah dicukur habis. Baju dalam hitam sederhananya (sebenarnya merupakan bagian atas dari baju mandi) menampakkan leher dan kedua bahunya tetapi hanya sedikit membantu menunjukkan jenis kelamin dari si pemilik tubuh, meski menyingkap detail terkecil dan tajam, sebuah tahi lalat di dekat lengan kiri. 
Menurut saya, inilah contoh dari apa yang dinamakan oleh Roland Barthes dengan punctum –sesuatu yang menyentuh penonton gambar fotografi secara subjektif, melampaui pertimbangan umum tentang keterangan waktu dan tempat dari gambar, menembus bagian permukaan dari kesadaran kita, mengaktifkan hasrat.[1] Bibir yang diwarnai dan mata yang berwarna hitam buatan, condong memandang arah sudut bawah, lebih mempertinggi nilai foto tak biasa ini. Ini adalah sebuah potret-diri –satu dari banyak- karya Lucy Schowb (1894-1954), perempuan pemilik banyak nama samaran, lebih dikenal sebagai Claude Cahun: penulis, fotografer, aktor, penganut aliran surealis, pasangan dan teman kerja dari saudara tirinya,  Suzanne Malherbe (1892-1972), dikenal juga dengan nama samaran Marcel Moore.[2]
     Apa yang ditampilkan oleh Claude Cahun kepada kita adalah sebuah kerja yang menggiurkan. Terlahir di keluarga intelektual Yahudi dari sisi ayahnya –ibunya adalah seorang Protestan- Cahun hidup dari semua itu. Ia berkarya dan berkontribusi terhadap beberapa pergolakan besar pada paruh pertama pertengahan abad ke dua puluh. Dua perang dunia, revolusi (baik revolusi politik pun budaya), berkembangnya fasisme dan perjuangan melawannya, meningkatnya kemampuan untuk melihat masa depan bagi lesbian dan gay, penampakan dari apa yang dikenal dengan sebutan “perempuan masa kini”, semakin meningkatnya pengaruh psikoanalisis dan dan surealisme, semua itu mempengaruhi hidupnya. Selain tinggal di kawasan kosmopolitan Paris, dia juga pernah merasakan ketentraman dan energi kreatif pengaruh dari laut, di kawasan Jersey dan pesisir Perancis. [3]Cahun meninggalkan karya artistik dalam berbagai macam media termasuk sastra dan teater, juga kumpulan manuskrip gambar-gambar fotografi.
     Buku ini fokus kepada karya fotografi Claude Cahun. Saat semua kerja-kerja kreatifnya –termasuk objek-objek surealis, fiksi, jurnalisme, dan terjemahan- merupakan sesuatu yang dapat dilihat secara jelas sebagai kesatuan, saya lebih tertarik pada karya fotografinya. Saya fokus pada karya-karya fotografinya, sedang pada bersamaan mendorong pembaca untuk membatasi ruang berpikirnya bahwa Cahun bukanlah semata-mata fotografer, tapi merupakan seorang pekerja kreatif yang membuat dan/atau mengambil foto dalam hubungannya dengan aktifitas lain. Tentu saja, pendekatannya terhadap, dan penggunaannya akan, fotografi memunculkan pertanyaan akan ide yang diterima secara luas tentang “fotografer”, dan aliran fotografi seperti potret-diri. Buku ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sejenis biografi dari Cahun, atau pengantar komprehensif ke dalam kerjanya, sebab keduanya dapat ditemukan di mana saja.[4] Yang saya inginkan di sini adalah memeriksa aspek-aspek yang mendalam dari karya fotografinya dalam situasi di mana, hingga saat ini, masih belum banyak diselidiki.
     Ketika banyak dari karya tulis Cahun tampak tidak lagi berlaku saat ini, foto-fotonya terus menarik untuk dibahas oleh penikmat foto. Secara teknis, Cahun bukanlah tipe fotografer yang berani jika dibandingkan dengan yang lain, tapi tingkat imajinasinya dalam hal objek kamera, dan mata yang sangat luar biasa dalam menangkap gambar, telah menghasilkan karya fotografi, meski diproduksi pada kisaran tahun 1920 dan 1940, yang tampak melampaui zamannya.
     Dalam hubungan dengan karya tulis, karya-karya yang mengandung polemik itu dikritik secara tajam oleh lawannya. Kala itu juga dipandang sebagai karya yang sangat sulit untuk dimengerti. Kreatifitasnya sangat baik diekspresikan bukan melalui medium abstrak tapi melalui medium sensual, terkait dengan perwujudan diri –perasaan, kesenangan, dan hasrat serta kecemasan yang rumit. Seperti kebanyakan surealis, khususnya Andre Breton –kawannya-, Cahun memilih untuk mengamini pandangan politik yang berkaitan dengan indra secara serius. Oleh sebab itu, buku ini berjudul ‘Politik Sensual Fotografi’.

Riwayat Hidup dan Seni
     Saat saya ingin menghindarkan diri untuk meriwayatkan foto-foto Cahun, saya fokus untuk mengkontekskan foto-foto tersebut dengan masanya. Dalam melakukan hal itu, saya menggunakan pendekatan teoritis dan metodis terhadap budaya dan perkembangan sejarah baik saat sebelum dan semenjak kematian Cahun. Tepatnya, beberapa teori utama yang saya gunakan untuk membahas karya fotografi milik Cahun –dari psikoanalisis, Marxisme, kajian perempuan, serta kajian lesbian dan gay – sangat terkait dengan apa yang selama ini menjadi perhatian Cahun sendiri. Semasa hidupnya, dia tertarik dengan Freud, mengenal Jacques Lacan, membaca Marx, Engels, dan Trotsky, menerjemahkan karya-karya tulis milik Havelock Ellis mengenai perempuan dalam masyarakat, dan dekat dengan personalan lesbian dan gay baik di Perancis sendiri pun wilayah lain di Eropa. [5] Banyak dari teori-teori yang tepat untuk digunakan guna membahas karyanya dianjurkan oleh Cahun sendiri melalui minat, koneksi, dan bacaannya.
     Mereka yang menulis tentang seni seringkali merangkul riwayat hidup, memandang hidup seorang pekerja seni sebagai jalan untuk memahami karya seninya, membaca arti karya seni sebagai jejak dari pengalaman seniman yang diwujudkan dalam gambar atau artefak. Karya dari Frida Kahlo, misalnya, telah menerima berbagai macam perlakuan. [6] Baru-baru ini, banyak pengamat budaya dan ahli sejarah menjadi lebih hati-hati dalam meriwayatkan karya seni. Apa yang dikenal dengan “matinya sang pengarang”, umum diusulkan oleh pengamat dari Perancis, menggeser perhatian jauh dari pengarang kepada penikmat/pembaca karya, yang terlibat dengan berbagai macam kemungkinan arti/pembacaan atas sebuah teks –baik tulisan pun visual-. [7] Saya tak ingin mengistimewakan Cahun sebagai sang pencipta karya, juga pembaca/penikmat dari karya Cahun, tapi cenderung ingin mengkaji hubungan yang rumit di antara sang pencipta, karya, dan arti. Meski kehidupan Cahun (tentu saja) sangat berarti, dan pengetahuan tentangnya akan sangat membantu dalam pembacaan kita atas foto, sangatlah penting untuk memelihara jarak antara apa yang kita ketahui tentang keberadaan Cahun dan foto-foto ciptaannya. [8] Cahun memainkan peran yang sangat besar dalam proses penciptaan foto-fotonya, tetapi foto-foto tersebut bukanlah Cahun. Karyanya tidak mencerminkan atau mewakili apa yang dimaksudkan menjadi, katakanlah, seorang lesbian dengan latar belakang Yahudi di tahun 1920an, atau seorang simpatisan Trotski di tahun 1930an. Karya seni menciptakan arti, sepanjang ada hubungan dialektik yang kompleks antara pencipta dan penikmatnya, pada saat karya tersebut diproduksi pun sesudah itu.
     Pencipta seringkali menghilangkan dirinya, berbicara akan tujuan yang tak tampak, atau berharap akan kenetralan. Inilah pendirian yang sulit untuk diterapkan dalam kasus orang istemewa seperti Cahun, yang menghidupi hidup sepenuhnya, paham akan beberapa masalah besar kebudayaan pada masanya dan memiliki penampilan serta imajinasi yang berbeda. Saya tidaklah netral terhadap topik dalam buku ini. Bagi saya, Cahun adalah orang yang menarik secara politik, budaya, dan seksual. Terlahir dalam keluarga intelektual Yahudi dari sisi ayahnya, seorang lesbian, dan pendukung aliran politik kiri di mana dia selalu berusaha untuk mempraktikan ide-idenya, Cahun membangun dirinya sendirinya, dan mendiaminya. Menurut saya, hidup dan karyanya memberikan kesaksian yang tekun tapi imaginatif berupa tanggapan atas tantangan personal pun politik. Saya sangat mengaguminya, dan ingin memberikan sumbangan berupa gambaran atas hidupnya, karya, dan kontribusi untuk kebudayaan fotografi.
     Pengamat sejarah kebudayaan biasanya memiliki teori (diasumsikan secara diam-diam atau diungkapkan secara eksplisit) mengenai apa yang menjadikan seseorang, baik orang tersebut merupakan penulis atau dia merupakan subjek dari bukunya. Diri adalah gabungan dari unsur-unsur sadar dan tak sadar yang dipengaruhi oleh kelas sosial, kecenderungan seksual, jenis kelamin, etnis, budaya, ekonomi, politik, latar belakang pendidikan dan sebagainya. Subjek dan dirinya terikat dengan kontradiksi-kontradiksi kehidupan nyata untuk menciptakan gambaran baru, bukan sekedar refleksi pasif, atas pengalaman mereka, keberadaan jasmaniah, serta kejiwaan. [9]
     Bagaimanapun juga, Cahun adalah subjek yang mengagumkan dan rumit. Karya seni dan sastranya hebat, akalnya cemerlang, komitmennya mengenai keadilan sosial politik tidak egois, baik di karya tulis dan fotografinya. Dia mengkaji kompleksitas identitas dan merupakan gambaran atas kesakitan, kesenangan, dan rahasia yang mungkin tidak akan pernah bisa dimengerti secara total. Dalam bukunya,Aveux non Avenus (Pengakuan tak Diakui), terbit tahun 1930, tulisannya disertai dengan ilustrasi rinci berupa mozaik foto. Gabungan dari potret-potret diri sebelumnya dan, seperti yang tercantum dalam halaman judul, digabungkan dengan karya dari Suzanne Malherbe (Marcel Moore). Dalam salah satu ilustrasi (gambar 2) sebuah tangan yang memegang kaca berada di bagian tengah gambar. Di sekitar kaca ada tangan lainnya dan gambar-gambar terpisah milik Cahun, yang melihat ke arah penonton, dengan bagian bawah wajah yang dikaburkan/diselubungi. Apakah ia berada di depan atau belakang kaca? Bisa jadi keduanya. Mata di bagian bawah gambar mencerminkan bagian tengah dari wajah Cahun, dari atas ke bawah, terbalik seperti dalam lensa kamera. Bagian-bagian tubuh yang diambil dari foto-foto Cahun sebelumnya mengelilingi kaca, bersama dengan potongan-potongan kertas dengan kata-kata hasil ketikan, seperti brosur propaganda yang disebarkan oleh Cahun dan Malherbe di Jersey. [10]Kepaduan tempat dan tubuh dikacaukan. Pengenalan-diri dikaitkan dengan proses visualisasi, tapi tanpa titik referensi atau titik pandang yang telah disepakati. Pembaca/penonton butuh meminta keterangan agar dapat terhubung dengan persoalan mengenai penglihatan, kesadaran, posisi, representasi, identitas, dan tubuh.
Serpihan cermin. Di mana harus aku letakkan perak pemantul cahaya ini? Di sisi ini ataukah sisi lainnya: depan atau belakang kaca?

Di depan. Aku memenjarakan diriku. Aku membutakan diriku. Bukankah masalah bagiku, mempersembahkan diri pada cermin di mana kau mengenal dirimu, apalahi jika cermin itu rusak dan  tertanda sebagai milikku sendiri?
 Di belakang. Aku tertutup. Tak akan kuketahui suatu apa yang ada di luar. Paling tidak, aku akan mengenal wajahku sendiri –dan mungkin itu akan cukup menyenangkanku-. (Aveux non Avenus, hal.29)[11]
Aveux non Avenus memperlihatkan Cahun dan pada saat bersamaan menyembunyikannya, lewat kata-kata dan potongan-potongan karya seni bergambar, sebagai elemen-elemen yang berhubungan dengan riwayat hidup yang dipadukan dengan fantasi puitis. Tentu saja, inilah yang dilakukan oleh foto-fotonya –memperlihatkan dan menyembunyikan diri secara bersamaan-. [12]
Seperti lapisan cermin, foto-foto Cahun, sebagian besar dihasilkan melalui kolaborasi dengan pasangannya Malherbe/Moore, sangatlah rapuh di mana lokasi subjek di ‘depan’ dan ‘belakang’ kamera terus dipertanyakan. Jejak berharga mengenai keberadaan Cahun ini, banyak di antaranya tidak pernah dipamerkan semasa hidupnya. Sekarang telah diakui keberadaannya masing-masing, diamati oleh para terpelajar yang tertarik dengan Cahun, dipertengkarkan oleh para kolektor, menjadi materi kasar bagi para pembuat film, dan menjadi objek dari sebuah riset industri kecil oleh para pengagum Cahun.

Pandangan Pengikut?
     Tidak ada yang salah dengan menjadi pengikut, sama halnya dengan menggunakan kapak untuk menggerinda, tapi akan sangat berguna menyatakan mengapa memakai kapak, apa yang ingin kau potong dan mengapa kau lebih tertarik memakai kapak ketimbang gergaji, misalnya. Cerapan atas karya Cahun, dulu dan sekarang, tidaklah urut melainkan cenderung dilihat dari berbagai posisi, beberapa di antaranya, sejujurnya, satu sama lain terpisah.
     Semasa hidupnya, Cahun mempublikasikan lebih banyak karya tulis ketimbang foto. Tidak jelas benar apakah dia memang tidak ingin menyebarluaskan foto-fotonya, atau dia tidak memiliki kesempatan untuk menyebarluaskannya atau dia merasa bahwa memamerkan foto-fotonya pada dasarnya sama dengan memisahkan mereka dari apa yang diminatinya selama ini. Foto Cahun pernah dijadikan ilustrasi untuk buku kumpulan puisi milik Lise Deharme, Le Coeur de Pic, pada 1937.[13] Ketika ‘autobiografi’ fiksinya, Aveux non Avenus, terbit, beberapa karya fotografi Cahun juga tampil sebagai ilustrasinya, termasuk salah satu karyanya  (lihat gambar 9) yang pernah dipamerkan di jendela sebuah toko buku. [14]Penting kiranya untuk mencatat bahwa foto-foto Cahun pernah dipamerkan di jendela tokoh buku, bukan di tempat di mana karya seni sepatutnya dipamerkan, di galeri. Di kemudian hari Cahun menyatakan bahwa usaha yang dilakukannya terhadap karya tersebut adalah untuk menggertak rekan-rekan sebayanya agar keluar dari kepuasan diri mereka akan ‘humor yang menyedihkan dan provokasi’ tapi kemudian hanya menghasilkan fitnah dan pengasingan atas dirinya. [15] Hal yang kemudian mendorongnya untuk mengenalkan hasil kerja kreatifnya kepada publik, karya tulis pun fotografi. Foto-foto lainnya yang kemudian tampak di ruang publik pernah juga dipublikasikan lewat jurnal atau buku, tapi bukan lewat galeri.
     Ada sebuah potret yang diwarnai sendiri, bertandatangan Cahun dan bertanggal “Jersey, Agustus 1936”, dari rangkaian ‘tableaux photographiques’, sebagaimana ia menamakannya, dibuat untuk buku kumpulan puisi milik Deharme. [16] Hampir semua foto-foto yang masih tertinggal berukuran kecil, berwarna hitam putih atau sepia, dan hanya kadang-kadang dia mencoba menggunakan rangkap negatif, yang dia sambungkan dengan pita pelindung. Meski ada referensi baginya untuk membesar fotonya sendiri, tampaknya hampir semua dari foto-fotonya dibesarkan dan dikembangkan oleh ahli kimia dan/atau toko fotografi. [17] Banyak dari negatif dan cetakannya lengkap dengan nama ahli dan alamatnya ditemukan di dompet-dompet milik Cahun saat dilelang, lengkap dengan arsip-arsip terkait. Cahun dan/atau Malhebe menulis beberapa instruksi dasar bagi pengembang dan pencetak, contohnya kadangkala ia meminta mereka untuk memperbesar atau memotong foto. Tetapi, tidak tampak ada eksperimentasi teknis, seperti, katakanlah, apa yang dilakukan oleh May Ray, rekan sejawatnya. [18] Meskipun melawan sifat dasar dari gambar-gambar fotografi kebanyakan, perkembangan dan cetakan dari foto-foto Cahun sangatlah dekat dengan keseharian, dan sama seperti jutaan ‘foto-foto keluarga’ pada bagian awal abad ke dua puluh. Terlebih lagi daya kreatif Cahun berkembang ke arah menciptakan dan menyusun suasana untuk perlengkapan fotografi ketimbang membuat gambar fisik. Bagian terpenting dalam penciptaan foto-fotonya adalah dirinya sendiri dan penglihatannya. Cahun dan karyanya jatuh pada ketidakjelasan semasa di Eropa antara 1930-1945. Fakta bahwa karyanya ikut dilelang sebagai bagian dari pembersihan rumah setelah kematian pasangannya tahun 1972, menunjukkan keluarganya tidak menghargai arti dari karya fotografinya yang bertahan. Walau demikian mulai dari pertengahan 1970an dan seterusnya, para pengamat sejarah seni perempuan (yang juga feminis) berusaha menjaring sejarah seni dan pergerakan seni resmi di abad ke dua puluh seperti Surealisme. Mereka berusaha menemukan dan mempertanyakan kembali karya-karya dari seniman perempuan sebagai representasi dari kewanitaan, awalnya hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada Cahun dan karyanya. Kenyataan bahwa banyak dari karyanya yang (sementara bahkan secara permanen) tidak tampak, dan fakta bahwa dia tersembunyi di balik keambiguan jenis kelaminnya (di Perancis, Claude tidak bisa dikategorikan sebagai perempuan pun laki-laki), tentu tidak mengagetkan. Paling tidak, seorang penulis perempuan pernah berpikir bahwa Cahun adalah seorang laki-laki. [19] Sekarang keadaan telah berubah. Tampaknya kita tidak bisa menemukan satu pun buku tentang perempuan dan seni yang tidak menyebutkan Cahun atau sebuah bab mengenai karyanya. [20] Mengapa dan bagaimana caranya karir Cahun lebih maju setelah wafat?
     Pada tahun 1994, saya menemukan permainan fotografi Cahun berupa potret diri. [21] Foto-foto itu adalah wahyu bagi para pengunjung, dan tampaknya sulit untuk percaya bahwa foto-foto itu dibuat pada tahun 1920an dan 1930an. Katalog pertunjukan itu memuat sebuah esai dari David Bate berjudul ‘The Mise en Scene of Desire’, dan esai itu membahas karya Cahun. Menekankan aspek penampilan karya, pementasan diri, dan kemustahilan untuk mengetahui siapa Claude Cahun sebenarnya. Ia menulis: Tidak ada Claude Cahun asli untuk ditemukan dalam mise en scene-nya. [22] Sesudah itu, datanglah yang saya gambarkan sebagai ‘ledakan’ minat atas Cahun dan foto-fotonya. Intelektual yang pernah menulis tentang karyanya, kemudian membaca semacam daftar ‘Siapa-Siapa Saja Perempuan dalam Sejarah Seni’. (Kebanyakan, meski tidak semua, yang tertarik pada karya Cahun adalah perempuan), contohnya Abigail Solomon-Godeau, Amelia Jones, Rosalind Krauss, Marsha Meskimmon, dan Whitney Chadwick.[23]
     Penemuan kembali karya fotografi Cahun, dari penghujung 1980an hingga seterusnya, bertepatan dengan tumbuhnya minat teoritis mengenai posmodernisme dan posfeminisme, diwakili oleh tulisan-tulisan Judith Butler dan Elizabeth Grosz. Para teoritikus ini percaya bahwa sifat-sifat dasar ‘kewanitaan’ itu tidak ada; jenis kelamin itu hanya diperankan; kecenderungan seksual bukanlah bawaan lahir melainkan sesuatu yang dibangun; dan kenyataan itu sendiri tidaklah diketahui secara langsung dan selalu siap untuk dimediasi melalui wacana. Sebagai contoh, dalam bukunya, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (Permasalahan Jenis Kelamin: Feminisme dan Perlawanan Identitas), pertama kali terbit pada tahun 1990, Butler menggunakan psikoanalis Jacques Lacan, Joan Riviere dan lainnya untuk menghancurkan konsep tentang identitas dan jenis kelamin. [24] Kala itu, ada semacam saling melengkapi antara orang yang terpesona oleh kemunculan kembali Cahun, dan mereka yang tertarik pada Butler, Grosz, dan teoritikus muda lainnya yang oleh para penulis feminis dijadikan acuan. Ada juga minat yang besar dari para pengkaji sejarah seni dan kritikus seni terhadap fotografi perempuan zaman itu, gambaran umumnya seperti apa yang dialami oleh Cindy Sherman, yang karyanya sejak tahun 1970an selalu dikaitkan dengan penampilan sisi ‘kewanitaan’ dan ‘perbedaan buatan’ tentang gambaran media mengenai perempuan terkait dengan film, iklan, dan fotografi fashion. [25] Letakkan para pengikutnya secara bersamaan, dan kita dapat melihat alasan mengapa Cahun sangat dekat dengan predikat selebriti. Dari pertengahan 1990an hingga seterusnya, secara umum dia dipandang sebagai pendahulu dari Cindy Sherman dan dihormati sebagai posmodernis dan dan posfeminis avant la letter –seseorang yang karyanya menampilkan sisi kewanitaan, memainkannya, menghancurkan subjektifitas individual dan mempermasalahkan penggolongan seksual dann identitas. Karena itulah karya Cahun dipahami terkait dengan minat pada paruh terakhir ada ke dua puluh, dan dilihat melalui kacamata teori posmodernisme dan posfeminisme. [26] Tapi meski ini merupakan bagian dari jejak Cahun, ini bukanlah gambaran Cahun secara keseluruhan. Segi lain dari karya sastra dan fotografinya, sebagaimana aktifitas politiknya, bagian terpenting dari hidupnya, harus benar-benar dipertimbangkan dalam konteks sejarah dan manfaatnya bagi kita.
     Demikian pula, beberapa penulis yang mendekati Cahun dan Malherbe dari posisi teori ganjil dan kajian lesbian dan gay cenderung menekankan fakta-fakta dari kehidupan dan karya mereka. Hal ini dapat dimengerti melalui berbagai cara, seperti Francois Leperlier, periwayat utama hidup Cahun, mencurahkan sedikit perhatian terhadap orientasi seksual Cahun. Pernah sekali, Solomon-Godeau menyatakan bahwa salah membuang lesbianme dari diskusi mengenai Cahun dan karyanya, dan dengan tepat menunjuk banyak aspek dari kehidupan Cahun yang ditolak sebab keinginan untuk fokus kepada Cahun sebagai feminis posmodernisme yang melampaui zamannya.[27] Solomon Godeau secara eksplisit menyatakan bahwa ‘membutuhkan usaha lebih untuk mensituasikan kembali antara Cahun dan fakta waktu serta lingkungan dibanding mempertimbangkan kembali karyanya dalam konteks rumusan teoritis mengenai kewanitaan, identitas, dan gambaran diri. [28]
Pemikiran dan Tulisan
     Pernah kali saya menulis tentang Cahun adalah sebagai bagian dari buku saya, Materializing Art History (Mematerikan Sejarah Seni), terbit tahun 1998, ketika saya masih aktif secara politik. Sepanjang beberapa waktu saya melakukan riset atas Cahun, membangun lapisan-lapisan pengetahuan berfondasikan pemahaman Marxis atas sejarah, budaya, dan subjektifitas. Saya mulai memahami lebih jauh perempuan menarik dan tekun ini sebagai seorang pribadi serta karya-karyanya. Saya memperhatikan jejak bagaimana tubuhnya mulai menua dalam gambar-gambarnya, seperti tubuh saya sendiri –kekuatannya mulai melemah. [29] Tapi, justru pada fase kehidupannya tersebut, Cahun melakukan aktivitas politik antifasis dengan sangat hebat dan penuh resiko.
     Di Jersey, sepanjang awal musim panas tahun 2005, saya mempelajari arsip-arsip Cahun/Malhebe yang ada di pulau tersebut, di mana keduanya menghabiskan banyak musim panas sebelum pindah ke sana tahun 1938. Saya mengunjungi orang-orang yang kenal dengan mereka, atau yang orang tuanya mengenal mereka, yang secara umum menghabiskan banyak waktu bersama saya. Saya juga mengunjungi terowongan-terowongan yang dibuat untuk perang, yang berdiri sebagai hasil dari eksploitasi kejam atas buruh, sekarang museum Pendudukan, di mana foto-foto identitas milik Cahun dan Malhebe ditampilkan  bersama dengan benda lain dari orang yang melawan tekanan Jerman dengan berbagai jalan sepanjang perang dunia. [30] Saya duduk di pantai pada suatu awal malam, membaca sebuah buku yang saya bawa. Memanfaatkan sinar terakhir matahari, saya menemukan tempat untuk duduk yang disinari cahaya keemasan dan membuka The Remembered Film (Film yang Terkenang) karya Victor Burgin. Buku itu adalah permata kecil bagi angan-angan, imajinasi, dan anjuran.
     Pada halaman pertama, Burgin menceritakan bagaimana Andre Breton dan kawannya Jacques Vache menghabiskan sore di Nantes memasukan dan mengeluarkan film dari berbagai macam bioskop. [31] Diri yang sadar ini kemudian melawan praktik, sebagaimana Burgin menamakannya, tampak sama dengan sama dengan penduduk kota Nantes, yang karyanya sedang saya investigasi, bernama Lucy Schowb/Claude Cahun. Saya terus membaca, mulai merasa dingin karena matahari perlahan-lahan terbenam, dan menemukan pembicaraan Burgin tentang Barthes dan Lacan yang berhubungan tentang gambar sebagai gaya tarik, atau sebuah perangkap. Burgin mendaftar arti-arti dari kata Perancis ‘leurre’, termasuk ‘daya tarik’, ‘umpan’, ‘perangkap’, ‘pemikat’, ‘bujukan’, ‘khayalan’, dan ‘tipuan’. Semuanya diperlihatkan kepada saya untuk menggambarkan foto-foto Cahun. Kemudian menyusul pembahasan oleh Burgin mengenai pernyataan Lacan tentang ‘Apa itu gambar?’. [32] Lacan menyatakan bahwa diri ditentukan oleh pandangan dari luar –diri menjadi gambaran. Pandangan itu berwujud cahaya dan objeknya itulah apa yang dinamakan sebagai potret.[33] ‘Lacan, dengan menggunakan analogi, mengkaitkan gambar fotografi dengan gambar diri dalam jiwa orang lain. Gambar tersebut tidak akan pernah serupa dengan persepsi kita sendiri mengenai diri, tak peduli apakah gambar-diri itu berupa kiasan atau dalam suatu fotografi. Lacan menyatakan bahwa hal yang sama juga terjadi di alam, dan Burgin mengingatkan kita bahwa Lacan merujuk kepada buku berjudul Meduse et Cie (1960) milik Roger Callois, yang fokus kepada tiga fungsi cara meniru dalam dunia binatang: ejekan, kamuflase, dan intimidasi. [34] Benda bernyawa terbagi atas keberadaan dan persamaannya, kata Lacan, yang terus mengatakan bahwa makhluk hidup menggunakan topeng, melapisi kulitnya saat berada dalam ancaman dan/atau situasi seksual. Daya tarik di sini terkait dengan fungsi topeng sebagai penengah, yang mengizinkan kutub-kutub maskulin dan feminin untuk berhadap-hadapan satu sama lain. Hanya manusia yang tahu ‘bagaimana bermain dengan topeng saat di luarnya ada pandangan orang lain’ (Lacan, hlm. 70). Saya mulai mempertimbangkan apakah foto-foto terkenal Cahun berupa potret-diri tidak hanya menampilkan diri, atau pertunjukan mengenai sisi kewanitaan (seperti yang telah dibahas oleh banyak penulis) tapi mewujudkan sesuatu yang lebih mendasar bagi manusia: kemungkinan bahwa gambar tersebut hanyalah umpan yang menggoda, untuk mengelabui kita –bahkan Cahun sendiri- agar kita berpikir bahwa kita dapat menggambarkan diri kita sendiri. Apakah Cahun berusaha menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang melampaui batas-batas jenis kelamin dan identitas seksual, bukan perempuan pun laki-laki tetapi manusia, dan dengan demikian usahanya menemui ajal berupa pengulangan dan kegagalan?
     Saya akan memperlihatkan bahwa karya-karya Cahun membutuhkan keterlibatan kita kepada teori informasi subjektif –bagian dari psikoanalisis- (bagaimana orang dapat menjadi pelaku dan subjek) dan teori-teori Marxis yang memungkinkan kita untuk memahami bagaimana orang-orang tidak hanya ditempatkan secara pasif dalam masyarakat tapi mereka dapat mengubah kesadarannya dan mengubah dunia mereka sekaligus. Dalam The Pleasure of Text, Barthes menulis: ‘apa yang kita cari agar mapan dalam berbagai  jalan adalah teori tentang subjek materialis.” [35] Saya ragu bahwa Barthes pernah memberikan satu teori yang seperti itu, tapi, yang penting, dia menginginkan politik dan kesenangan dalam teksnya. Dalam buku ini, saya menyatakan bahwa foto-foto Cahun memuat kedua unsur tersebut, unsur politik dan unsur kesenangan. Mengurai kembali apa yang dikatakan oleh Barthes, saya pikir ‘hanya sedikit fotografer yang bertarung untuk urusan ideologi dan hawa nafsu pada saat bersamaan’.[36] Dan Cahun adalah satu di antara yang sedikit itu.


[1] R. Barthes, Camera Lucida: Reflections on Photography, London, 1993. Cahun’s photograph is in the collection of the Jersey Heritage Trust (http://jerseyheritagetrust.org, in the section on catalogues).
[2] Lucy Schowb menggunakan berbagai nama samaran lainnya –Claude Courlis, Daniel Douglas, R.M. (singkatan dari Renee Mathilde, nama tengahnya)- termasuk Claude Cahun. Dia kembali menggunakan nama Lucy Schowb sebagai namanya sepanjang pendudukan Jerman di Jersey di Perang Dunia kedua, dan juga menggunakan nama ‘Der Soldat ohne Namen’ (Tentara Tanpa Nama) untuk menandatangani lembaran propaganda kala itu. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penggunaan nama-nama tersebut di atas, lihat D.Phil. tesis milik K. von Oehsen, ‘Claude Cahun’ – Published/ Unpublished. The Textual Identities of Lucy Schwob 1914–1944, University of East Anglia, 2003. Meskipun faktanya ia memiliki banyak nama, secara umum saya akan memanggilnya ‘Claude Cahun’ , panggilan yang telah akrab bagi mereka yang  mengenal karyanya.
[3] Untuk kronologi kehidupan Lucy Schowb, lihat F. Leperlier, ed., Claude Cahun: Ecrits, Paris, 2002, hal. 11–15, dan laporan lengkap di buku Leperlier sebelumnya Claude Cahun: L’Ecart et la Métamorphose, Paris, 1992. Untuk laporan singkat mengenai kehidupannya dengan pasangannya, lihat K. von Oehsen, ‘The Lives of Claude
Cahun and Marcel Moore’, in L. Downie, ed., Don’t Kiss Me: The Art of Claude Cahun and Marcel Moore, London, 2006, hal. 10–23. 
[4] Riwayat hidup Cahun yang ditulis oleh Leperlier (berbentuk narasi bukan analisa) adalah satu-satunya risalah yang tekun bertutur  tentang Cahun. Karya terbaik tentang tulisan-tulisan Cahun adalah disertasi Von Oehsen yang tidak dipublikasikan, yang telah membagikan temuannya secara umum kepada saya. Pameran/katalog di mana karya Cahun dipublikasikan antara lain Claude Cahun Photographe, Musée d’Art Moderne de la Ville de Paris, Paris, 1995; Inside the Visible: An Elliptical Traverse of 20th Century Art in, of, and from the Feminine, kuratorial oleh M. Catherine de Zegher, Cambridge,MA, and London, 1996; dan yang terbaru L. Downie, ed., memuat esai-esai yang bermanfaat sebagai pengantar kepada Cahun dan karyanya.
[5] ‘Dr. Lacan, 149 Rue de la Pompe, Kléber 9780’ ada di dalam buku alamatnya bersama dengan arsip-arsip yang ditemukan di Jersey.  Terjemahannya atas Etudes de Psychologie Sociale,‘La Femme dans la Société: L’Hygiène Sociale’ (Paris, Mercure de France, 1929) milik Havelock Ellis ke dalam bahasa Perancis, yang juga ditinjau dan dikembangkan ulang olehnya sebagai bagian dari proyek yang sama, adalah buku pokok setebal 283 halaman. Bagian kedua dari terjemahannya tidak dipublikasikan. Artikel nya yang membela drama milik Oscar Wilde, Salome, dan soal pelecehan seksual oleh Billing, tampil dalam Mercure the France, no. 481, 1 Juli 1918. Polisi militer Inggris, Noel Pemberton Billing menyalahkan drama tersebut sebagai bagian dari kampanyenya melawan homoseksual. Penari Maude Allan (di dalam drama berperan sebagai Salome) juga disalahkan oleh Billing dalam sebuah artikel berjudul ‘The Cult of of the Clitoris’ (‘Pemujaan Klitoris’), dan dia menyerang drama tersebut dengan menyatakan bahwa drama bakal memunculkan ‘ketakwajaran seksual, sodomi, dan lesbian’. Lihat F. buku yang ditulis dengan sangat baik oleh F. Tamagne,Histoire de l’Homosexualité en Europe: Berlin, Londres, Paris 
1919–1939, Paris, 2000, hal. 34. Dalam sebuah dokumennya, Cahun menyebutkan buku-buku yang dibawanya ke Jersey untuk liburan musim panas, termasuk di antaranya buku Trotsky, ‘Permanent Revolution’ ,  dan ‘The Origin of Family’ serta‘Private Property and the State’ karya Engels.
[6] Lihat M.G. Meskimmon, The Art of Reflection: Women Artists’ Self-Portraiture in the Twentieth Century, London, 1996, Bab. 2, ‘The Autobiographical Model’.
[7] Lihat S. Burke, The Death and Return of the Author: Criticism and Subjectivity in Barthes, Foucault and Derrida, 2nd edn, Edinburgh, 1998.
[8] setelah perang, Cahun menulis di bagian belakang foto di mana hanya sedikit dari film-film Cahun dan Malherbe yang selamat karena pasukan Jerman yang mencari rumah mereka telah kelelahan menghancurkan mereka. Dia menyatakan bahwa ia tidak pernah punya waktu atau keberanian untuk memeriksa apa-apa saja yang masih bertahan –mengetahui bahwa karya yang paling saya sukai tidak lagi ada.
[9] Untuk mengetahui lebih jauh mengenai diri, masyarakat, dan budaya visual, lihat buku saya Picturing the Self: Changing Views of the Subject in Visual Culture, London, 2005.
[10] Bagian ini sebenarnya merupakan potongan dari naskahAveux non Avenus. Terima kasih pada von Oehsen yang telah mengingatkan saya kepada naskah tersebut; lihat disertasinya, hal. 101.
[11] Judul tersebut juga memiliki  arti tentang pengakuan yang salah, pengakuan akan hal-hal yang tak pernah terjadi. Karya tersebut direproduksi disertai ilustrasi dalam Leperlier, ed.,Claude Cahun: Ecrits, hal. 162–436.
[12] J.E. Milligan menunjukan betapa tidak biasanya bagi seorang penulis perempuan untuk mempublikasikan materi yang berkaitan dengan riwayat hidupnya dalam masa perang di Perancis, yang lebih banyak muncul dalam bentuk novel, ketimbang autobiografi pun jurnal. Perempuan yang pernah mengambil resiko dengan menuliskan autobiografi (sementara ini kita bisa menyatakan Aveux sebagai salah satunya) ‘Semuanya menunjukkan senjata paling ampuh untuk strategi perlindungan, strategi tanpa perkecualian titik temu mengenai jaminan penyembunyian-diri’. Lihat The Forgotten Generation: French Women Writers of the Inter-war Period, Oxford and New York, 1996, hal. 87.
[13] Edisi jiplakan diterbitkan oleh Editions MeMo, 2004. Foto diBifur no. 5, 1930, diletakkan, di bawah gambar, Frontière Humaine. Tidak jelas siapa yang memberi judul, apakah Cahun atau editorBifurFrontières Humaines adalah sebuah novel karya Georges Ribemont-Dessaignes, terbit tahun 1929. Von Oehsen,  hal. 76–78, membahas novel tersebut dalam hubungannya dengan karya foto Cahun. Bifur semula dimaksudkan untuk dinamakan ‘carrefour’ yang berarti ‘persimpangan’, tapi kemudian diganti menjadi Bifur, kependekan dari ‘bifurcation’, seperti akhir cabang dari rel kereta api.
[14] Sebuah potret dari pameran arsip Jersey ini tergambar dalam sebuah dompet serta tertulis ‘Vitrine van den Bergh juin 1930’ (dompet E38) diillustrasikan dalam Downie, ed., hal. 176. Beberapa karya grafis dari Malherbe juga ditampilkan dalam pameran, juga kopian dari Bifur.
[15]  Lihat bagian belakang dari lembaran tertanggal 3 Juli 1950 dalam arsip-arsip private milik Cahun di UK.
[16] Lihat A. Lionel-Marie and A. Sayag, eds, Collection de Photographies du Musée National d’Art Moderne 1905–1948, Centre Georges Pompidou, Paris, 1996, hal. 135–136.
[17]  Surat dari Robert Desnos kepada Cahun, 6 Maret 1939, yang bertuliskan bahwa jika dia berada di Perancis, Desnos bersedia meminjamkannya alat pembesar gambar. Le Rève d’une Ville:Nantes et le Surréalisme, katalog pameran, Réunion des Musées Nationaux and
Nantes, 1994, hal. 286.
[18] Untuk esai yang bermanfaat mengenai Cahun dan teknik-teknik fotografi, lihat James Stevenson, ‘Claude Cahun: An Analysis of her Photographic Technique’, dalam L. Downie, ed.,Don’t Kiss Me: The Art of Claude Cahun and Marcel Moore, London, 2006, hal. 46–55.
[19] H. Lewis, The Politics of Surrealism, New York, 1988, hal. 134.
[20] Salah satu contohnya adalah kumpulan yang diedit oleh N. Broude and M.D. Garrard, Reclaiming Female Agency: Feminist Art History after Postmodernism, Berkeley, 2005, dengan sebuah esai tentang Cahun oleh Julie Cole, ‘Marcel Moore, and the Collaborative Construction of a Lesbian Subjectivity’, hal. 343–360. Karyanya berupa potret-diri juga dipilih sebagai ilustrasi untuk sampul dari berbagai buku, termasuk di antaranya W. Chadwick, ed., Mirror Images: Women, Surrealism, and Self-Representation, Cambridge, MA, and London, 1998; Bi AcademicIntervention, eds, The Bisexual Imaginary: Representation, Identity and Desire, London and Washington, 1997; and O. Heathcote, A. Hughes and J.S. Williams, eds, Gay Signatures: Gay and Lesbian Theory, Fiction and Film in France, 1945–1995, Oxford and New York, 1998.
[21] Mise en Scène: Claude Cahun, Tacita Dean, Virginia Nimarkoh, Institute of Contemporary Arts, London, 1994.
[22] Bate, hal. 9. Rosalind Krauss adalah salah satu dari banyak orang yang membuat pendapat serupa, menyatakan bahwa karya Cahun mengkaji ‘kondisi labil dari subjektifitas, yang ditemukan oleh banyak penulis feminis sebagai hal yang patut dicontoh’, dan terdiri atas rangkaian potret-diri ‘di belakangnya, Claude Cahun yang “senyatanya” hilang’. Krauss,Bachelors, Cambridge, MA, and London, 1999, hal. 29.
[23] Lihat, sebagai contoh,  A. Solomon-Godeau, ‘The Equivocal “I”: Claude Cahun as Lesbian Subject’, in S. Rice, ed., Inverted Odysseys: Claude Cahun, Maya Deren, Cindy Sherman, Cambridge, MA, and London, 1999, hal. 111–126;
R. Krauss, bab. 1, ‘Claude Cahun and Dora Maar: By Way of Introduction’; W. Chadwick, ed., Mirror Images: Women, Surrealism and Self-Representation, Cambridge, MA, and London, 1998; A. Jones, ‘The “Eternal Return”: Self-Portrait Photography as a Technology of Embodiment’, Signs: Journal of Women in Culture and Society, vol. 27, no. 4, 2002, hal. 947–978; M. Meskimmon, Women Making Art: History, Subjectivity, Aesthetics, London and New York, 2003, hal. 91–98; and my chapter ‘How Is the Personal Political?’, in Materializing Art History, Oxford and New York, 1998, hal. 105–172.
[24] Lihat juga Grosz, Volatile Bodies: Toward a Corporeal Feminism, Bloomington, IN, 1994.
[25] Lihat, sebagai contoh, A. Cruz, E.A.T. Smith and A. Jones,Cindy Sherman Retrospective, New York and London, 1997.
[26] Sebagai contoh, Katy Kline, ‘In or Out of the Picture: Claude Cahun and Cindy Sherman’, from 1998; Lihat Chadwick, ed., hal. 66–81.
[27] Solomon-Godeau, ‘The Equivocal “I”. Lihat juga esai terpuji dari  Cole tentang Memperoleh Kembali Perwakilan Perempuan, dan sebuah film yang sangat menarik tentang Cahun dan karyanya oleh Lizzie Thynne, Playing a Part: The Story of Claude Cahun, Sussex University, 2004. Untuk analisa tentang karya Cahun dengan penekanan khusus terhadap sejarah lesbian dan gay, lihat Tirza True Latimer, ‘Looking Like a Lesbian: Portraiture and Sexual Identity in 1920s Paris’, in W. Chadwick and T.T. Latimer, eds, The Modern Woman Revisited: Paris between the Wars, New Brunswick, NJ, and London, 2003, hal. 127–143, dan disertasi doctoral milik Latimer, Looking Like a Lesbian: The Sexual Politics of Portraiture in Paris between the Wars, Stanford University, CA, 2003, UMI dissertations, Ann Arbor, MI, 2003, discussing portraits of Cahun, Romaine Brooks and Suzy Solidor.
[28] Solomon-Godeau, ‘The Equivocal “I”, op. cit., p. 114. Marie-Jo Bonnet, meski hanya sedikit terpengaruh dengan usaha “kasar” untuk membaca Cahun sebagai perintis jalan dekonstruksi jenis kelamin dan identitas seksual, juga berpendapat bahwa kita harus memberi perhatian lebih terhadap pasangan Cahun, Malherbe, sebagai teman bekerjasamanya. Dia percaya bahwa pasangan perempuan ditutup-tutupi dan/atau dimarginalisasi di dunia kesenian barat, dan ketidakhadiran dari gambar perempuan-perempuan bersamaan dalam karya Cahun memainkan bagian sadar dan taksadar dalam mengekalkan peniadaan tersebut dengan membuat Malherbe tak terlihat. Bonnet, Les Deux Amies: Essai sur le Couple de Femmes dans l’Art, Paris, 2000, hal. 218–219.
[29] Lihat G. Doy, ‘Another Side of the Picture: Looking Differently at Claude Cahun’, in L. Downie, ed., Don’t Kiss Me: The Art of Claude Cahun and Marcel Moore, London, 2006, hal. 72–82.
[30] Untuk laporan pribadi mengenai pendudukan, lihat J. Mière, Never to be Forgotten, Jersey, Jersey, 2004. Saya sangat berterima kasih kepada Joe (dan kepada Nyonya Mière), atas sambutannya terhadap saya, dan untuk membagi kenangan pedihnya mengenai ‘Lucy’ dan ‘Bertie’ (Cahun and Marherbe) dengan saya.
[31] Mengenai Breton dan Vaché, Nantes dan Surealisme, lihat katalog Le Rêve d’une Ville.
[32] Bab 9 dalam J. Lacan, Four Fundamental Concepts of Psycho-analysis (pengantar oleh  D. Macey), Harmondsworth, 1994.
[33] Dalam sebuah laporan mengenai hukuman penjara yang didapatkannya, ditulis pada Agustus 1948, kepada Marianne Ashridge (hal. 26-27), Cahun menceritakan bagaimana seorang pengujung datang ke kamar selnya, Kurt, datang dari kegelapan koridor ke dalam ruangan mereka, bermandikan cerminan cahaya dari langit cerah di luar. Cahun terkejut dan merasakan bahaya atas kemunculan tak terduga dan persengkongkolannya dengan si penjaga, Otto. Perasaannya mencapai puncak, sehingga dia tetapi menyimpan gambaran kejadian itu di pikirannya bertahun-tahun kemudian. Sama dengan memotret orang lain dengan pandangannya, Cahun juga memberikan kesaksian berupa fotografi alami atas pengalaman sensual dan kejadian emosional yang penting.
[34] Burgin, hal. 38.
[35] Barthes, The Pleasure of the Text, New York, 1999 (cetakan pertama. 1973) hal. 61.
[36] Barthes, ibid., hal. 35. (He has writers, not photographers.)

No comments:

Post a Comment