“Design is a response to social change.” Hal
tersebut diungkapkan oleh George Nelson, seorang desainer Amerika legendaris.
Memang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa desainer seringkali bekerjasama dengan
aneka bidang keilmuan lain dalam rangka mengetahui apa yang sedang disenangi atau justru dibutuhkan
oleh masyarakat. Tapi kebalikannya-pun sering terjadi yaitu ketika sebuah
komunitas membuat sebuah desain eksklusif bagi komunitas itu sendiri tapi
ternyata direspon pula oleh komunitas lainnya sehingga akhirnya menjadi sebuah
fenomena global.
Sudut pandang
kedua ini akan saya gunakan untuk membahas sebuah fenomena yang sedang terjadi
di dunia desain dan seni dan berusaha menelaah konsep yang mendasarinya. Pertama-tama
saya akan memaparkan tga buah contoh peristiwa yang cukup menarik perhatian. Yang
pertama adalah ketika para jurnalis mode mengamati haute couture warna warni
keluaran rumah mode Pucci yang ditujukan untuk musim semi/panas 2008, mereka
segera menuliskan ‘terinspirasi motif Navajo’ untuk motif yang menghiasi haute
couture tersebut. Navajo adalah
salah satu suku Indian Amerika Serikat yang komunitasnya masih kita bisa lihat
di wilayah-wilayah tandus negara bagian New Mexico dan Arizona. Mereka
mengembangkan corak kehidupannya sendiri, dan seperti umumnya sebuah komunitas
menciptakan artefak budaya yang khas.
Berbeda dengan beberapa produk budaya
yang mereka ciptakan setelah kontak dengan budaya lain seperti Spanyol dan Suku
Indian Pueblo, tenunan Navajo adalah suatu tradisi yang telah berusia sangat
tua dan menjadi simbol kultural
tersendiri bagi mereka. Yang menarik, penggunaan motif tersebut menjadi sebah
fenomena berkelanjutan, diteruskan dari panggung pergelaran mode hingga
kantong-kantong Sub-Kultur. Semenjak pertengahan tahun 2010, motif tersebut
semakin umum dilihat pada majalah-majalah gaya hidup kalangan dewasa muda dan
remaja dalam bentuk penggunaannya
pada pakaian, tas, dompet, sepatu. Jadi bagaimana caranya suatu motif dari
suatu komunitas minoritas bisa menjadi keseharian dalam waktu yang cukup lama
di tengah kaum muda urban.
Gmbr.1 (Kiri) Dua orang laki-laki suku Navajo dengan kain tenunan suku mereka (Kanan) Dua orang model memperagakan pakaian dengan motif Navajo dari suatu brand. |
Yang kedua bisa kita lihat pada Desainer Davd
Carpenter. Muda dan kreatif, Carpenter
adalah tipe desainer yang membuat web portofolio pribadinya dengan bergaya dan
mungkin suatu saat akan menjadi semacam selebritis desainer seperti Shephard. Uniknya
dalam suatu proyek pribadi yang ia kerjakan, ia mengambil suatu konsep yang dikenal sebagai Shamanisme. Shamanisme
adalah kepercayaan-kepercayaan purba terhadap roh di alam dan hadirnya medium
yang menjadi penengah di atara dunia manusia dan dunia roh. Dalam proyek
tersebut ia membuat aneka macam bentuk desain, dari mulai layout majalah, tipografi
hingga video. Dalam video yang ditaruhnya di situs Vimeo kita akan disuguhi
aneka scene dan montase dari benda-benda yang menimbulkan nuansa ‘mistik’.
Gambaran tengkorak hewan dan manusia, tanaman yang dibakar, sosok manusia bertopeng, dan suatu aktifitas ‘ritual’
yang dibarengi musik ‘primitif’ dalam video tersebut akan membuat kita mengira
sedang melihat sebuah dokumentasi antropologis ala National Geographic. Pada kenyataannya
rangkaian yang terdapat dalam video tersebut adalah hasil reka Carpenter
terhadap ide tentang Shamanisme. Jelas ia terpegaruh oleh artefak budaya
masyarakat tertentu, tapi selebihnya adalah hasil rekaan dan imajinasi, seerti
yang bisa dilihat dalam satu katalog berisi sketsa-sketsa dan storyboard untuk
video tersebut.
Hal serupa bisa kita lihat dari karya seniman bernama Johny
Andrew Giglotti. Portofolionya yang bisa kita lihat di website Saatchi Gallery memuat
suatu seri fotografi dengan gambaran perempuan-perempuan muda dalam pose semi
erotik yang tubuhnya ‘dirajah’ dengan simbol-simbol huruf paku budaya Sumeria
kuno. Dalam beberapa foto lainnya perempuan tersebut menggunakan aneka aksesori
ekletik yang menginspirasikan imaji tentang suatu suku pedalaman. Ketika diwawancara
mengenai karyanya tersebut, Giglotti menjawab,
” This idea, the concept of “Neotribalism” is to have work that attempts to draw together prominent and formal elements of ritual from past culture. I believe in a reintroduction to using art for mythic purposes. In our day and age, the artist is an illuminator, and can act as shaman to bridge the metaphysical world of the “sacred space”. ...........My art deals with the role of being a “guide” for modern culture, myself, I am a medium for spirit to pass through. My work is to be seen as a rite of passage from past to present."
” This idea, the concept of “Neotribalism” is to have work that attempts to draw together prominent and formal elements of ritual from past culture. I believe in a reintroduction to using art for mythic purposes. In our day and age, the artist is an illuminator, and can act as shaman to bridge the metaphysical world of the “sacred space”. ...........My art deals with the role of being a “guide” for modern culture, myself, I am a medium for spirit to pass through. My work is to be seen as a rite of passage from past to present."
Gmbr2. Salah satu bagian dari proyek “Neo-Shamanisme” dari Desainer David Carpenter. |
Peristiwa yang terakhir hadir dari Mekkah
bernama Hollywood. Dari akhir 90-an hingga pasca 2000, terdapat sejumlah film dengan
aneka genre, umumnya historikal dan fantasi yang memperlihatkan suku tradisional
dan kebudayaannya sebagai simbol inspirasi atau justru perlawanan terhadap nilai-nilai
barat. Film-film seperti Dance with Wolves, Avatar, Pocahontas, dan The New
World dapat dimasukkan dalam kategori tersebut.
Tanpa diberitahu lebih lanjut, saya yakin
pembaca akan menemukan pola yang mirip dari ketiga peristiwa tersebut yaitu
ketertarikan pada ide shamanisme, tribalisme, dan primitivisme. Suatu nilai
yang sebenarnya sudah asing dalam keseharian bagi mayoritas masyarakat barat
sejak awal abad ke-20. Kita sering mendengar bahwa hagemoni barat dalam
menyebarkan kebudayaannya ke belahan dunia lain sangatlah kuat, membuat banyak
orang di negara dunia ketiga sibuk mengocehkan soal “identitas nasional” atau “tradisi asli”. Pada
kenyataannya fenomena tersebut juga menimpa mereka. Sepanjang sejarah, beberapa
kali budaya barat terinfusi gelombang budaya dari aneka negara di Asia dan
Afrika. Pada dekade 1870 misalnya, apapun yang berbau Jepang sangatlah fashionable
dan penemuan makam Firaun Tutankhamun pada tahun 1922 menimbulkan kegilaan ‘Mesirologi’
terutama di Amerika Serikat. Yang patut kita catat adalah bagaimana mereka
cerdas dalam mengemas gempuran soft-power semacam itu.
Gempuran tahun 1870 dan
1922 tersebut misalnya, diserap dan diadaptasi oleh para intelektual lokal dalam
gerakan seni ‘Impresionisme’ dan desain ‘Art Deco’, menjadikannya bagian dari
kanon kebudayaan Barat. Walau mulai memiliki budaya tandingan dari Korea dan
Jepang Secara keseluruhan dunia barat saat ini masihlah menjadi arus utama
dalam penyebaran ‘mode dan ‘ideologi’. Yang menarik justru mengapa diaspora
budaya paling kontemporer ini merujuk pada suatu arus budaya dan ideologi yang
lebih purba, yang oleh bahasa antropologis sering disebut ‘primitif’. Neo-shamanisme dan
Neo-Tribalisme, istilah yang disematkan pada gerakan ‘revivalisasi’ diatas memang
juga menjangkit di sela gedung-gedung pencakar langit Seoul,Beijing dan
padang-padang rumput Siberia, tapi jika terjadi di tengah masyarakat kota New
York atau London tentu penyebabnya akan lebih sulit dijelaskan ? Apakah ini merupakan
sekedar infusi budaya atau justru akan berakar jawabannya dalam pejelasan yang
lain.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment