.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Wednesday, February 5, 2014

NEO DESIGN (Part 1)

Oleh: Riezky Putra


“Design is a response to social change.” Hal tersebut diungkapkan oleh George Nelson, seorang desainer Amerika legendaris. Memang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa desainer seringkali bekerjasama dengan aneka bidang keilmuan lain dalam rangka mengetahui apa yang sedang disenangi atau justru dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi kebalikannya-pun sering terjadi yaitu ketika sebuah komunitas membuat sebuah desain eksklusif bagi komunitas itu sendiri tapi ternyata direspon pula oleh komunitas lainnya sehingga akhirnya menjadi sebuah fenomena global.  

Sudut pandang kedua ini akan saya gunakan untuk membahas sebuah fenomena yang sedang terjadi di dunia desain dan seni dan berusaha menelaah konsep yang mendasarinya. Pertama-tama saya akan memaparkan tga buah contoh peristiwa yang cukup menarik perhatian. Yang pertama adalah ketika para jurnalis mode mengamati haute couture warna warni keluaran rumah mode Pucci yang ditujukan untuk musim semi/panas 2008, mereka segera menuliskan ‘terinspirasi motif Navajo’ untuk motif yang menghiasi haute couture tersebut.  Navajo adalah salah satu suku Indian Amerika Serikat yang komunitasnya masih kita bisa lihat di wilayah-wilayah tandus negara bagian New Mexico dan Arizona. Mereka mengembangkan corak kehidupannya sendiri, dan seperti umumnya sebuah komunitas menciptakan artefak budaya yang khas. 

Berbeda dengan beberapa produk budaya yang mereka ciptakan setelah kontak dengan budaya lain seperti Spanyol dan Suku Indian Pueblo, tenunan Navajo adalah suatu tradisi yang telah berusia sangat tua dan menjadi simbol  kultural tersendiri bagi mereka. Yang menarik, penggunaan motif tersebut menjadi sebah fenomena berkelanjutan, diteruskan dari panggung pergelaran mode hingga kantong-kantong Sub-Kultur. Semenjak pertengahan tahun 2010, motif tersebut semakin umum dilihat pada majalah-majalah gaya hidup kalangan dewasa muda dan remaja  dalam bentuk penggunaannya pada pakaian, tas, dompet, sepatu. Jadi bagaimana caranya suatu motif dari suatu komunitas minoritas bisa menjadi keseharian dalam waktu yang cukup lama di tengah kaum muda urban.

Gmbr.1 (Kiri) Dua orang laki-laki suku Navajo dengan kain tenunan suku mereka (Kanan) Dua orang model memperagakan pakaian dengan motif Navajo dari suatu brand.
Yang kedua bisa kita lihat pada Desainer Davd Carpenter. Muda dan kreatif,  Carpenter adalah tipe desainer yang membuat web portofolio pribadinya dengan bergaya dan mungkin suatu saat akan menjadi semacam selebritis desainer seperti Shephard. Uniknya dalam suatu proyek pribadi yang ia kerjakan, ia  mengambil suatu konsep yang dikenal sebagai Shamanisme. Shamanisme adalah kepercayaan-kepercayaan purba terhadap roh di alam dan hadirnya medium yang menjadi penengah di atara dunia manusia dan dunia roh. Dalam proyek tersebut ia membuat aneka macam bentuk desain, dari mulai layout majalah, tipografi hingga video. Dalam video yang ditaruhnya di situs Vimeo kita akan disuguhi aneka scene dan montase dari benda-benda yang menimbulkan nuansa ‘mistik’. 

Gambaran tengkorak hewan dan manusia, tanaman yang dibakar, sosok  manusia bertopeng, dan suatu aktifitas ‘ritual’ yang dibarengi musik ‘primitif’ dalam video tersebut akan membuat kita mengira sedang melihat sebuah dokumentasi antropologis ala National Geographic. Pada kenyataannya rangkaian yang terdapat dalam video tersebut adalah hasil reka Carpenter terhadap ide tentang Shamanisme. Jelas ia terpegaruh oleh artefak budaya masyarakat tertentu, tapi selebihnya adalah hasil rekaan dan imajinasi, seerti yang bisa dilihat dalam satu katalog berisi sketsa-sketsa dan storyboard untuk video tersebut. 

Hal serupa bisa kita lihat dari karya seniman bernama Johny Andrew Giglotti. Portofolionya yang bisa kita lihat di website Saatchi Gallery memuat suatu seri fotografi dengan gambaran perempuan-perempuan muda dalam pose semi erotik yang tubuhnya ‘dirajah’ dengan simbol-simbol huruf paku budaya Sumeria kuno. Dalam beberapa foto lainnya perempuan tersebut menggunakan aneka aksesori ekletik yang menginspirasikan  imaji tentang suatu suku pedalaman. Ketika diwawancara mengenai karyanya tersebut, Giglotti menjawab,

This idea, the concept of “Neotribalism” is to have work that attempts to draw together prominent and formal elements of ritual from past culture. I believe in a reintroduction to using art for mythic purposes. In our day and age, the artist is an illuminator, and can act as shaman to bridge the metaphysical world of the “sacred space”. ...........My art deals with the role of being a “guide” for modern culture, myself, I am a medium for spirit to pass through. My work is to be seen as a rite of passage from past to present."

Gmbr2. Salah satu bagian dari proyek “Neo-Shamanisme” dari Desainer David Carpenter.
Peristiwa yang terakhir hadir dari Mekkah bernama Hollywood. Dari akhir 90-an hingga pasca 2000, terdapat sejumlah film dengan aneka genre, umumnya historikal dan fantasi yang memperlihatkan suku tradisional dan kebudayaannya sebagai simbol inspirasi atau justru perlawanan terhadap nilai-nilai barat. Film-film seperti Dance with Wolves, Avatar, Pocahontas, dan The New World dapat dimasukkan dalam kategori tersebut.


Tanpa diberitahu lebih lanjut, saya yakin pembaca akan menemukan pola yang mirip dari ketiga peristiwa tersebut yaitu ketertarikan pada ide shamanisme, tribalisme, dan primitivisme. Suatu nilai yang sebenarnya sudah asing dalam keseharian bagi mayoritas masyarakat barat sejak awal abad ke-20. Kita sering mendengar bahwa hagemoni barat dalam menyebarkan kebudayaannya ke belahan dunia lain sangatlah kuat, membuat banyak orang di negara dunia ketiga sibuk mengocehkan soal “identitas  nasional” atau “tradisi asli”. Pada kenyataannya fenomena tersebut juga menimpa mereka. Sepanjang sejarah, beberapa kali budaya barat terinfusi gelombang budaya dari aneka negara di Asia dan Afrika. Pada dekade 1870 misalnya, apapun yang berbau Jepang sangatlah fashionable dan penemuan makam Firaun Tutankhamun pada tahun 1922 menimbulkan kegilaan ‘Mesirologi’ terutama di Amerika Serikat. Yang patut kita catat adalah bagaimana mereka cerdas dalam mengemas gempuran soft-power semacam itu. 

Gempuran tahun 1870 dan 1922 tersebut misalnya, diserap dan diadaptasi oleh para intelektual lokal dalam gerakan seni ‘Impresionisme’ dan desain ‘Art Deco’, menjadikannya bagian dari kanon kebudayaan Barat. Walau mulai memiliki budaya tandingan dari Korea dan Jepang Secara keseluruhan dunia barat saat ini masihlah menjadi arus utama dalam penyebaran ‘mode dan ‘ideologi’. Yang menarik justru mengapa diaspora budaya paling kontemporer ini merujuk pada suatu arus budaya dan ideologi yang lebih purba, yang oleh bahasa antropologis sering disebut  ‘primitif’. Neo-shamanisme dan Neo-Tribalisme, istilah yang disematkan pada gerakan ‘revivalisasi’ diatas memang juga menjangkit di sela gedung-gedung pencakar langit Seoul,Beijing dan padang-padang rumput Siberia, tapi jika terjadi di tengah masyarakat kota New York atau London tentu penyebabnya akan lebih sulit dijelaskan ? Apakah ini merupakan sekedar infusi budaya atau justru akan berakar jawabannya dalam pejelasan yang lain.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment