oleh Lana Syahbani
Lampu sorot mengarah ke seluruh tubuhku.
Saking terangnya aku tak dapat melihat apa pun, kecuali putih. Perlahan mata
ini menyesuaikan diri. Sekitarku gelap, hitam. Hanya diriku yang terlihat
berkilau. Entah ada yang hidup atau tidak selain aku di tempat ini, yang jelas
aku bersyukur aku masih tersadar dalam terang.
‘Tap!’
Sinar matahari pagi membangunkanku. Ternyata mimpi.
Rumahku yang menghadap ke arah timur, memandikan seisi kamarku dengan cahaya
matahari setiap pagi di musim kemarau. Satu hal yang membuat hal itu
memungkinkan, aku tak suka tirai yang menutupi jendela. Tirai hanya menghalangi
pandanganku pada alam. Sudah cukup setiap hari aku bekerja di dalam gedung
kantor yang sempit.
Lagi-lagi mimpi yang sama. Sampai saat ini aku
tak paham apa arti mimpi itu. Sempat aku berpikir, waktu kematianku telah
dekat. Dalam mimpi itu, tak pernah ada seorang pun kecuali aku dan lampu sorot
terang benderang. Aku pikir lampu itu yang akan membawaku ke alam lain. Tapi,
aku tak punya penyakit serius apa pun. Bunuh diri? Aku terlalu bahagia untuk
itu. Mungkin jika kematian itu dekat, aku akan mati karena sebuah kecelakaan.
Entah di darat, laut, atau udara.
“Aku tak mengerti. Mimpi itu selalu datang,
aku tak cukup pintar untuk menafsirkannya. Atau mungkin aku memang bodoh,” aku
berbicara kepada cermin.
Ia tak menjawab, ia hanya terus mengikuti
gerak mulut dan segala gestur yang aku ciptakan. Tentu saja, ia hanya bayangan.
Bayanganku sendiri.
“Menurutmu, apa solusinya agar aku dapat
memahaminya?”
“Menurutku, kau harus pergi ke taman dan
menemui orang-orang, Tuan Kesepian!” suara itu berhasil membuatku terperanjak.
“Astaga! Setidaknya kau mengetuk pintu dan
masuk secara normal tiap mampir ke rumahku, Dei!” suara itu milik Deira. Setiap
hari kerja ia mampir mengantarkan kopi hangat yang dibuatnya. Tentu saja Deira
bukan seorang barista. Ia hanya orang punya banyak kebisaan. Kebalikan mutlak
dari diriku. Bagiku, dunia sangat sempit. Kehidupanku hanya seputaran rumah,
kantor, dan Deira, sedangkan kehidupan Deira, adalah kehidupan semua orang. Ia
aktif di organisasi pecinta lingkungan dan bekerja pada sebuah wedding
organizer. Ia punya banyak relasi, seolah-olah setiap jarak lima belas meter
selalu ada orang yang dikenalnya.
“Jadi, masih mimpi yang sama?” Deira menaruh kopi
yang dibawanya di meja kayu berbentuk lingkaran di ruang tengah.
“Ya.. aku rasa aku sebentar lagi mati,” aku
beranjak dari hadapan cermin dan mulai menikmati kopi yang dibawa Deira.
“Hush! Jangan bicara sembarangan kamu! Mungkin
ini ada hubungannya dengan pencarian kebahagiaan yang kamu lakukan,” ia
melengos pergi meninggalkanku.
Aku terdiam, menyeruput kopi. Deira malah
membiarkanku. Ia mulai melipat selimut di kamarku dan membereskan tempat tidur.
Aku hanya memerhatikan punggungnya. Damai. Melihat punggung kekasihmu lebih
menyenangkan daripada mendengarnya mengomel.
Tak habis pikir, mengapa Deira masih mau
bersamaku. Aku hanya meyukai kesendirian. Bahkan Deira seingkali memanggilku
Tuan Kesepian. Jika setiap pasangan memiliki panggilan kesayangan, itu lah
panggilan yang diberikan Deira kepadaku. Aku selalu merasa kesepian. Kesepian
dan kesepian. Setiap hari aku mengelukan hal itu kepadanya. Setiap hari aku
mengeluh mengapa aku tidak bahagia. Sementara itu dengan sabar ia mendengarkan.
Ia selalu menjawab semuanya dengan empat kata dan senyum yang sama.
“Aku, aku, dan aku…”
Ya, seharusnya aku selama ini tak perlu
bertanya apa tafsir dari mimpi-mimpi yang sama setiap malamnya. Deira telah
menjawabnya sebanyak ratusan kali.
No comments:
Post a Comment