.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Monday, December 24, 2012

KUMPULAN GARIS DARI KETIDAKSADARAN

Oleh : Lana Syahbani


Ruangan itu tak diterangi lampu, cahaya yang masuk dari jendela pun tak cukup banyak untuk menerangi seluruh ruangan. Tidak ada satu pun mahasiswa seni yang sedang berkegiatan di sana. Studio di lantai satu kawasan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung  itu hening.
Seorang laki-laki berkemeja hitam, duduk membelakangi jendela kayu bercat abu, tempat masuknya cahaya. Sambil bercerita, sesekali ia membuang abu dari rokoknya. Matanya menerawang ketika kata-kata mengalir dari pikiran ke mulutnya.

Sepintas namanya memang mirip dengan seorang filsuf asal spanyol, yang mengusung pemikiran aristoteles secara radikal. Namun tak ada kemiripan ataupun hubungan di antara keduanya. Averroes. Ia sedang menjalani kehidupannya dalam ranah seni visual.






Kecintaannya pada dunia seni muncul dengan sendirinya. Tanpa diperkenalkan oleh siapapun. Saat itu mulai muncul hasrat untuk meneruskan studi di FSRD ITB.  Karena kegagalan menembus tes ke perguruan tinggi yang diinginkannya, pada tahun 2008 ia menempuh studi di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, Solo. Rasa penasaran membuatnya memutuskan untuk kembali ikut ujian masuk pada tahun berikutnya. Berbekal keterampilan dan bakat seni yang ia punya dalam dirinya, ia lolos ke perguruan tinggi yang selama ini ia harapkan.

“Orang tua saya, sangat berharap semua anaknya bisa cari ilmu setinggi mungkin. Saya pun merasa pendidikan formal itu sangat penting. Meskipun saya sering gagal, saya tidak akan berhenti,” ujar Aver.

Aver merasa ada kontradiksi dalam kegiatan akademik dan kebiasaan berkarya. Keduanya tak dapat ia jalankan secara seimbang. Akibatnya, beberapa mata kuliah tak dapat ia selesaikan dengan nilai baik.

“Menurut saya, keduanya harus berjalan harmonis. Seharusnya saya bisa sedikit menahan diri (dalam berkarya), tapi terus terang itu sulit sekali”.

***

Tiga kanvas besar terisi bentuk-bentuk bebas dengan berbagai komposisi warna dan goresan. Aver memiliki target menyelesaikan ketiganya dalam satu bulan, pada Februari 2011. Hampir setiap hari ia bekerja di kamar sekaligus studionya. Tiga kanvas itu Aver kerjakan secara bergantian dengan intens.

“Saya betul-betul lepas, pagi dan malam saya menyapu kanvas, menuangkan emosi dan memori. Otak saya terus bekerja, saya berdialog dengan diri sendiri, tentang segala hal,” Aver menggambarkan perasaannya.

Berulang kali Aver mengisi bidang kanvas dan menghancurkan kembali sebagian bentuk yang telah ada, dengan timpaan warna lain. Ketika satu kanvas telah selesai, ia mundur dan menyaksikannya bersama dua kanvas lainnya. Baginya, mereka saling berbicara. Ia berharap suatu saat mengulang proses itu, dengan ukuran yang lebih besar dan jumlah yang lebih banyak.

***

Sejak pagi hari, Irvan, Ambon, Gya, Zia, Enay dan sahabat-sahabat Aver lainnya sedang menyiapkan sebuah pameran di Selasar Seni Keramik, FSRD ITB. Beberapa easel dari studio grafis mereka bawa ke Selasar Seni Keramik untuk menempelkan karya, yang sebagian besar merupakan drawing. Mereka pun menyiapkan snack dan buku tamu. Tertera judul pameran, Averroes: I’m so naïve but fierce.

Sore itu, menjelang buka puasa, sekitar tiga puluh orang berkumpul di sana. Aver yang tidak tahu menahu soal adanya pameran ini merasa kaget ketika memasuki ruangan, yang sudah dipenuhi display karya-karyanya. Perasaannya campur aduk, malu, senang, sekaligus kesal.

“Saya kesal dengan diri sendiri karena saya gagal. Terharu pun iya, mereka menghargai yang telah saya kerjakan selama dua tahun di sana. Setidaknya, saya berhasil menghidupi suasana studio grafis waktu itu, saya menggambar, teman saya pun ikut menggambar, di luar jam kuliah,” aku Aver, yang saat itu mengundurkan diri dari FSRD ITB karena masalah akademis.

Pameran yang terlaksana beberapa bulan setelah lukisannya di tiga kanvas besar itu, dibuka dengan ucapan maaf dan terima kasih dari Aver. Di tengah lilin-lilin yang disusun membentuk lingkaran, beberapa teman sedih terbawa suasana. Banyak dari mereka merangkul Aver dan memberikan semangat.

***

Aver kini menempuh studi di Jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Nasional, Ia masih terus berkesenian. Ketertarikannya mengeksplorasi surealisme dan dadaisme belum berhenti. Ia pun berencana meneruskan Naïve Book, zine yang pernah ia terbitkan bersama Agathon Yuda, pada 2011 lalu.



No comments:

Post a Comment