Naskah : Sutansyah Marahakim
Ilustrasi : Fiona Priscilla Tambunan
Adaptasi Twitter : Anissa Rahma Sukardi
Adaptasi Twitter : Anissa Rahma Sukardi
--
Aku melihat seekor kupu-kupu,
begitu besar ujung sayap serta sungutnya hingga garis cakrawala pun robek lalu
tunduk dibawah keberadaannya. Ia bergerak membumbung melewati batas pandang,
mengepak-ngepak seraya mengucurkan pengetahuan.
Cerita tentang dua ratus lima
puluh ribu tahun yang lalu, ketika manusia tidak lagi berlari melindungi
kekasih dari taring kelaparan. Mereka nyalakan yang tadinya gelap, memasuki gua
dan berlindung di satu atap. Ia bercerita tentang masa sebelum cahaya, tentang
potongan-potongan tubuh orang tua yang dirobek serigala, tentang doa pertama, lima
ratus ribu tahun yang lalu Tuhan turun ke benak manusia.
Kupu-kupu raksasa menunjukkan
sosok wanita, yang dikutuk karena mempertahankan keperawanannya. Ular kuil
Apollo menjilati telinga Cassandra malam itu, membuat masa depan mengalir
dengan jelas ke pendengaran. Sebuah pemberian dewa berlanjut sebuah paksaan menikah,
dan kutuk itu lagi-lagi datang berkat satu kejadian di kala malam. Disana, di
salah satu ruas kaki kurus sang rama-rama, tercerminkan Achlys sebagai
personifikasi malam tanpa akhir. Ia tersenyum melihat kisah Cassandra yang
membangkang dari mukjizat Apollo. Senyumnya seolah berkata bahwa bahkan Raja
segala dewa tak mampu mengalahkan kehendak dirinya sebagai makhluk yang lahir
sebelum kekacauan pertama.
Aku bisa melihat di kaki-kaki
lainnya, berbagai dari mereka yang dahulu dilahirkan manusia, sekarang mati
tergantikan gemerlap euforia. Kedua Zorya yang dahulu membukakan dan menutup
gerbang untuk kereta tempur matahari, terlupakan bahkan di Rusia dan Makedonia.
Peperangan teritori politis menyingkirkan segala puji untuk Shalim sang pembawa
malam, begitu pula saudara kembarnya Shahar yang selalu datang tepat waktu
untuk memulai hari. Di kala Edison menemukan perangkat penembus gelap, Nyx
berdiri tenang dalam lemah, kengerian sebuah malam sekarang takluk, Erebus
hanya mampu duduk meringkuk, Cicero atau Kaisar Claudius pun tetap gagal
menyelamatkan Artames dari hiruk pikuk. Inilah nasib para tuhan yang terus
melantun namun tak lagi dilantukan.
Pojok yang terlupakan pun kembali
bergeliat, tergantikan berbagai tragedi dari pelosok masa. Seorang Ibu memeluk
bayi yang telah mati tiga jam lamanya. Mayat itu berusaha ia susui, namun
cairan putih itu tak lagi tertelan, bermuncratan ke pipi kurus sang buah hati.
Wanita berambut kecoklatan, dengan gemetar berusaha melepaskan simpul tambang
dari langit langit. Sungguh ia tak pernah berniat menyakiti pria yang tegantung
disana. Mereka tidak cocok, itu saja. Namun yang ia tidak sadari adalah bahwa
dirinya telah menjadi dunia bagi sang pria. Kerumunan pemburu berbadan tegap
berdiri mengitari seorang yang menangis, memeluk sosok dengan perut menganga
terbuka. Tanah luntur berubah merah, begitu pula air mata yang bercampur darah.
Malam itu harimau tua menyantap sahabatnya.
Pada sayap aku pun melihat,
berbagai kilat yang berubah menjadi gelak tawa dan pesta pora. Di malam-malam,
manusia yang telah terlalu lama khawatir akhirnya lelah. Kita bunuh setan yang
katanya berkeliaran dengan denting persulangan, kita lupakan mitos-mitos
mencekam dengan perayaan, sedangkan untuk serigala, manusia temukan benda
praktis bernama senapan. Di sini, aku pelajari malam yang meriah, cermin akan
dunia yang tak lagi marah, kemudian memutuskan untuk bermabuk-mabukan. Manusia
yang telah berdiri di puncak rantai, hanya takut pada kaum mereka sendiri, pada
dunia yang sekarang terpolitisasi, atau sesederhana norma sosial dan konsensus
lazim-tabu. Maka di malam yang gelap, mereka lakukan aksi reproduksi dalam
sembunyi. Beberapa di kamar tertutup, yang lain mencuri waktu karena aksi ini
tak selalu demi keturunan, hanya demi pemuasan candu kenikmatan. Mereka hisap
halusinogen bersama teman-teman, tanpa sepengetahuan orang tua atau pasangan.
Mereka hidup di kala malam sebanyak di kala siang, di dunia ini secara tidak
sadar, manusia dihantui sesuatu yang bahkan lebih mengerikan dari rahang
kelaparan atau iblis berwajah hitam, yaitu makna hidup yang terlupakan.
Aku terpaku. Bertumpu pada
keyakinan bahwa cahaya terbang dari lembah gulita telah menuntunku keluar.
Karena disini aku telah melihat cahaya. Bukan hanya satu warna namun jutaan
jumlahnya. Merah yang tertabrak hijau kekuningan, bertemu belasan biru ungu,
saling silang dan bergantian menari dalam sayap kupu-kupu. Warna-warna tersebut
kemudian menyeruak ke dalam pori pori, sebagai ilmu dalam ceramah sejarah akan
malam, seolah memohon untuk dipahami, dengan paksa, dengan siksa, karena selama
ini tubuhku dihirup perlahan, ke dalam belitan kencang ilmu dan ingatan. Inilah
lapisan ketiga. Tempat tinggal Purna yang manusia sebut aurora. Dengan anggun
ia cipratkan setiap detik yang dialami setiap jiwa, ialah cermin dari segala
memori akan malam.
‘Siapakah yang tinggal diantara
sebuah pertemuan dan perpisahan? Adalah yang terlupakan manusia kemudian
terlimpahkan padanya. Purna yang mengingat lalu menyesap peristiwa, sungguh
lupa hanya sifat dari mereka yang (mampu dan dapat) hancur.’
Aku melihat setiap kejadian dunia
datang dari sela sela kakiku. Butiran laksana salju itu mengkristal sembari
bergerak menuju kedua sayap Purna. Namun setiap ingatan seolah tidak melayang
tetapi berguguran. Seperti aku yang berdiri terbalik di sebuah langit langit,
menatap kejadian jatuh tertelan kepakan Purna yang terbang terlentang. Tempat
refleksi setiap ingatan disimpan, terhindar dari hilang, menjadi bagian dari
kibasan yang dilemparkan ke setiap yang memandangnya. Keindahan yang manusia
pandang dengan sia sia di kutub utara, nyatanya menjanjikanku ilmu tak
berujung. Aku berdiri, mengingat, memahami, memandang, begitu lama hingga
tubuhku terlepas dari arus waktu.
Sekelilingku hanya hampa. Dunia
tanpa atribut yang bukan hitam atau putih, tidak pula abu-abu, sekedar tanpa
warna. Semua warna terhisap oleh satu satunya penghuni tempat ini, termasuk
warna pijakan yang seharusnya menjadi alas langkahku. Seperti melayang namun
jejak, seperti berdasar namun kosong, jalan yang kutapaki setelah kupu kupu itu
berhenti mengajari, berada di batas ada dan tiada.
Tapi aku tidak butuh warna, aku
tidak butuh kepastian akan ada atau tiada.
Karena aku siap. Lebih tepatnya
aku mengerti.
Setiap bagian dari tubuhku kini
penuh dengan data dunia, berdenyut menuntunku menuju sebuah pohon besar di
utara.
--
Info lebih lanjut:
@taraksa_
@majalahepik
--
Info lebih lanjut:
@taraksa_
@majalahepik
No comments:
Post a Comment