.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Wednesday, November 21, 2012

Taraksa [Yang Bersiap]


Naskah : Sutansyah Marahakim 
Ilustrasi : Fiona Priscilla Tambunan
Adaptasi Twitter : Anissa Rahma Sukardi
--

Aku melihat seekor kupu-kupu, begitu besar ujung sayap serta sungutnya hingga garis cakrawala pun robek lalu tunduk dibawah keberadaannya. Ia bergerak membumbung melewati batas pandang, mengepak-ngepak seraya mengucurkan pengetahuan.
Cerita tentang dua ratus lima puluh ribu tahun yang lalu, ketika manusia tidak lagi berlari melindungi kekasih dari taring kelaparan. Mereka nyalakan yang tadinya gelap, memasuki gua dan berlindung di satu atap. Ia bercerita tentang masa sebelum cahaya, tentang potongan-potongan tubuh orang tua yang dirobek serigala, tentang doa pertama, lima ratus ribu tahun yang lalu Tuhan turun ke benak manusia.
Kupu-kupu raksasa menunjukkan sosok wanita, yang dikutuk karena mempertahankan keperawanannya. Ular kuil Apollo menjilati telinga Cassandra malam itu, membuat masa depan mengalir dengan jelas ke pendengaran. Sebuah pemberian dewa berlanjut sebuah paksaan menikah, dan kutuk itu lagi-lagi datang berkat satu kejadian di kala malam. Disana, di salah satu ruas kaki kurus sang rama-rama, tercerminkan Achlys sebagai personifikasi malam tanpa akhir. Ia tersenyum melihat kisah Cassandra yang membangkang dari mukjizat Apollo. Senyumnya seolah berkata bahwa bahkan Raja segala dewa tak mampu mengalahkan kehendak dirinya sebagai makhluk yang lahir sebelum kekacauan pertama.
Aku bisa melihat di kaki-kaki lainnya, berbagai dari mereka yang dahulu dilahirkan manusia, sekarang mati tergantikan gemerlap euforia. Kedua Zorya yang dahulu membukakan dan menutup gerbang untuk kereta tempur matahari, terlupakan bahkan di Rusia dan Makedonia. Peperangan teritori politis menyingkirkan segala puji untuk Shalim sang pembawa malam, begitu pula saudara kembarnya Shahar yang selalu datang tepat waktu untuk memulai hari. Di kala Edison menemukan perangkat penembus gelap, Nyx berdiri tenang dalam lemah, kengerian sebuah malam sekarang takluk, Erebus hanya mampu duduk meringkuk, Cicero atau Kaisar Claudius pun tetap gagal menyelamatkan Artames dari hiruk pikuk. Inilah nasib para tuhan yang terus melantun namun tak lagi dilantukan.
Pojok yang terlupakan pun kembali bergeliat, tergantikan berbagai tragedi dari pelosok masa. Seorang Ibu memeluk bayi yang telah mati tiga jam lamanya. Mayat itu berusaha ia susui, namun cairan putih itu tak lagi tertelan, bermuncratan ke pipi kurus sang buah hati. Wanita berambut kecoklatan, dengan gemetar berusaha melepaskan simpul tambang dari langit langit. Sungguh ia tak pernah berniat menyakiti pria yang tegantung disana. Mereka tidak cocok, itu saja. Namun yang ia tidak sadari adalah bahwa dirinya telah menjadi dunia bagi sang pria. Kerumunan pemburu berbadan tegap berdiri mengitari seorang yang menangis, memeluk sosok dengan perut menganga terbuka. Tanah luntur berubah merah, begitu pula air mata yang bercampur darah. Malam itu harimau tua menyantap sahabatnya.
Pada sayap aku pun melihat, berbagai kilat yang berubah menjadi gelak tawa dan pesta pora. Di malam-malam, manusia yang telah terlalu lama khawatir akhirnya lelah. Kita bunuh setan yang katanya berkeliaran dengan denting persulangan, kita lupakan mitos-mitos mencekam dengan perayaan, sedangkan untuk serigala, manusia temukan benda praktis bernama senapan. Di sini, aku pelajari malam yang meriah, cermin akan dunia yang tak lagi marah, kemudian memutuskan untuk bermabuk-mabukan. Manusia yang telah berdiri di puncak rantai, hanya takut pada kaum mereka sendiri, pada dunia yang sekarang terpolitisasi, atau sesederhana norma sosial dan konsensus lazim-tabu. Maka di malam yang gelap, mereka lakukan aksi reproduksi dalam sembunyi. Beberapa di kamar tertutup, yang lain mencuri waktu karena aksi ini tak selalu demi keturunan, hanya demi pemuasan candu kenikmatan. Mereka hisap halusinogen bersama teman-teman, tanpa sepengetahuan orang tua atau pasangan. Mereka hidup di kala malam sebanyak di kala siang, di dunia ini secara tidak sadar, manusia dihantui sesuatu yang bahkan lebih mengerikan dari rahang kelaparan atau iblis berwajah hitam, yaitu makna hidup yang terlupakan.
Aku terpaku. Bertumpu pada keyakinan bahwa cahaya terbang dari lembah gulita telah menuntunku keluar. Karena disini aku telah melihat cahaya. Bukan hanya satu warna namun jutaan jumlahnya. Merah yang tertabrak hijau kekuningan, bertemu belasan biru ungu, saling silang dan bergantian menari dalam sayap kupu-kupu. Warna-warna tersebut kemudian menyeruak ke dalam pori pori, sebagai ilmu dalam ceramah sejarah akan malam, seolah memohon untuk dipahami, dengan paksa, dengan siksa, karena selama ini tubuhku dihirup perlahan, ke dalam belitan kencang ilmu dan ingatan. Inilah lapisan ketiga. Tempat tinggal Purna yang manusia sebut aurora. Dengan anggun ia cipratkan setiap detik yang dialami setiap jiwa, ialah cermin dari segala memori akan malam.
‘Siapakah yang tinggal diantara sebuah pertemuan dan perpisahan? Adalah yang terlupakan manusia kemudian terlimpahkan padanya. Purna yang mengingat lalu menyesap peristiwa, sungguh lupa hanya sifat dari mereka yang (mampu dan dapat) hancur.’
Aku melihat setiap kejadian dunia datang dari sela sela kakiku. Butiran laksana salju itu mengkristal sembari bergerak menuju kedua sayap Purna. Namun setiap ingatan seolah tidak melayang tetapi berguguran. Seperti aku yang berdiri terbalik di sebuah langit langit, menatap kejadian jatuh tertelan kepakan Purna yang terbang terlentang. Tempat refleksi setiap ingatan disimpan, terhindar dari hilang, menjadi bagian dari kibasan yang dilemparkan ke setiap yang memandangnya. Keindahan yang manusia pandang dengan sia sia di kutub utara, nyatanya menjanjikanku ilmu tak berujung. Aku berdiri, mengingat, memahami, memandang, begitu lama hingga tubuhku terlepas dari arus waktu.
Sekelilingku hanya hampa. Dunia tanpa atribut yang bukan hitam atau putih, tidak pula abu-abu, sekedar tanpa warna. Semua warna terhisap oleh satu satunya penghuni tempat ini, termasuk warna pijakan yang seharusnya menjadi alas langkahku. Seperti melayang namun jejak, seperti berdasar namun kosong, jalan yang kutapaki setelah kupu kupu itu berhenti mengajari, berada di batas ada dan tiada.
Tapi aku tidak butuh warna, aku tidak butuh kepastian akan ada atau tiada.
Karena aku siap. Lebih tepatnya aku mengerti.
Setiap bagian dari tubuhku kini penuh dengan data dunia, berdenyut menuntunku menuju sebuah pohon besar di utara. 

--

Info lebih lanjut:
@taraksa_
@majalahepik

No comments:

Post a Comment