.

.
"The stars shall fade away, the sun himself grow dim with age, and nature sink in years, but thou shalt flourish in immortal youth."

Sunday, October 7, 2012

Agnès Varda: Perempuan Yang Mengajukan Banding Lewat Film

 Oleh Amnesti Marta.

photo: http://magnoliaforever.wordpress.com/2011/09/22/new-wave-week-day-4-agnes-varda/
Seringkali, pantai menjadi area pengembak-biak ingatan bagi seseorang. Meluapkan memori, gagasan, pun ide yang terkungkung di pikiran. Setidaknya itu yang terefleksikan oleh  The Beaches of Agnès , karya dokumenter tentang biografi Agnès Varda.  Varda menyutradarai film ber-prolog-kan seni instalasi tersebut secara langsung  pada usianya kedelapan puluh tahun, sebagai memoar atas perjalanan hidupnya sendiri.

Tunggu dulu, sudahkah saya memperkenalkan dia? Di antara deretan nama laki-laki tenar yang memenuhi daftar sutradara kawakan kaliber internasional, Varda hadir di tengahnya. Merepresentasikan intelektualitas kaum perempuan di dunia perfilman. “I'm not interested in seeing a film just made by a woman. Not unless she is looking for new images,” ujarnya. Sepenggal pernyataan tersebut memperlihatkan bagaimana ia memaknai film dalam kacamata perempuan. Secara implisit, Varda mengkritisi film-film buatan perempuan ataupun film-film berceritakan perempuan yang selama ini meringkuk nyaman dalam pakem “male gaze”. Perempuan dianggap sebatas objek dalam kisah di mana perhatian khalayak diposisikan sebagai tatapan pria. Atas dasar itulah, ia berusaha membangun imaji baru atas perempuan melalui karya-karyanya yang sarat akan pengungkapan realitas dengan bubuhan satir-satir sederhana, erotisme yang jauh dari kesan banal, juga keberanian menggebrak ketabuan sosial.

La Pointe Courte merupakan film pertama Varda yang dibuat pada 1955, saat usianya baru menginjak 25 tahun. Berbekal kedekatan personal serta emosional akibat masa kecil yang dihabiskan di Sete, pesisir Perancis,  ditambah dengan kemampuannya sebagai fotografer, Varda menarasikan kehidupan pasangan muda dari desa nelayan pinggiran menggunakan teknik pengambilan gambar yang tidak biasa pada masanya. Biaya produksi rendah, sejumlah $ 14,000, membuat kru dan para pemain bekerja secara sukarela dalam proyek ini. Termasuk sineas legenda, Alain Resnais, yang bersedia menjadi editor tanpa bayaran. Segala kelebihan sekaligus keterbatasan dalam pembuatannya justru membuat Varda bebas berkreasi, sebagaimana konsep Auteur Theory yang dianut para penggerak Nouvelle Vague (New Wave). La Pointe Courte merupakan salah satu film yang ditahbiskan sebagai avant-garde. Membuat Varda sang sutradara dijuluki “The Grandmother of The New Age”, sejajar dengan Jean-Luc Godard dan kawan-kawan.

Masih polos dan terlalu berkutat di area sinematografi mencerminkan sisi lain dari La Pointe Courte. Lini masa bergerak maju, membawa saya menyelami karya Varda selanjutnya, Cléo de 5 à 7 (1962).  Isu feminitas tergambarkan dengan sangat mencolok. Tentang seorang penyanyi muda yang didiagnosis mengidap kanker, di mana sebuah ketakutan akan kematian diredam oleh pemujaan atas kecantikan diri secara semu. Dua jam yang dilalui Cleo menjelang pengonfirmasian hasil diagnosis, penuh dengan pencarian arti diri. Di salah satu adegan, terlihat Varda menyindir konsep kecantikan dan fesyen yang selama ini berlaku sebagai alat sosial untuk mendangkalkan makna esensial atas perempuan di tengah peranannya. Perempuan cantik modis terlihat bak boneka berjalan. Hidup terkungkung dalam pencitraan, sebatas menjalankan peran yang diinginkan orang lain atas dirinya. Pada akhirnya, kebahagiaan seseorang tidak terletak pada hal material.

Bicara soal kebahagiaan, mari kita bahas Le Bonheur. Film yang dibuat pada 1965 ini menyentil isu perselingkuhan yang terjadi dalam suatu relasi formal. Seorang laki-laki dengan mudahnya mengatakan mencintai dua perempuan sekaligus dan para perempuan menerimanya, mau tak mau. Sekilas, akhir cerita yang ditampilkan Varda tampak mengamini konsep dominasi laki-laki atas perempuan. Namun, saya justru melihatnya sebagai satir yang sengaja disuguhkan. Jika khalayak jeli, Le Bonheur turut menyuarakan korelasi antara perempuan dengan dikotomi ruang. Varda menunjukkan perspektif umum tentang perempuan yang berkutat di ruang privat sebagai figur yang lemah lembut, keibuan, serta pasif. Sedangkan perempuan yang menunjukkan eksistensinya di ruang publik dicirikan bersifat aktif, persuasif, sensual, dan liar.

Semakin ke depan, film-film Agnès Varda semakin berani menyuarakan feminisme. L’Une Chante, L’Autre Pas (1977), karyanya yang paling vulgar menyuarakan mosi aborsi. Pada masa pembuatan film ini, Varda merupakan satu dari 343 perempuan di Perancis yang menandatangani petisi tentang aborsi legal. Dalam sudut pandang sebagian penganut feminisme, aborsi legal adalah perwujudan mutlak hak perempuan atas tubuhnya sendiri.

Karya Varda yang membabat habis stereotip bentuk ideal yang dibebankan pada perempuan adalah Sans Toit ni Loi (1985), atau lebih dikenal dengan Vagabond. Film bergaya dokumenter semu menggunakan alur mundur tentang perempuan yang menghabiskan hidupnya di jalan, tanpa atap yang menjadi peneduh maupun aturan yang membatasi. Narasi film diambil dari multi-perspektif subjek-subjek yang bertemu Mona, tokoh utama, beberapa saat sebelum kematiannya. Varda berhasil membangun karakter perempuan kuat pada sosok Mona, hingga membungkam karakter para tokoh laki-laki yang ada di situ. Idealisme yang menolak dikebiri oleh batasan. Kebebasan sebagai harga mati. Ditunjang dengan ketahanan fisiknya menebas kondisi alam yang berubah-ubah. Mona digambarkan keras kepala serta pembangkang. Membuat siapapun yang bertemu dengannya kewalahan tetapi mengagumi ketangguhannya di saat bersamaan. Terlihat jelas, Varda mengecundangi fetisisme sebagaimana kerap tersaji dalam film yang memanjakan mata laki-laki. Melalui keengganan Mona untuk mandi dan berganti baju, menjadikannya dekil. Tidak ada satu bagian tubuhpun yang pantas dilucuti oleh kamera secara erotis. Meski demikian, kritik akan kesengsaraan yang diemban oleh perempuan tetap saja diunggah. Pada salah satu adegan di mana Mona ditimpai tindak perkosaan, Varda membukakan mata khalayak tentang realitas yang terjadi. Sampai sekarang, jalanan sebagai simbol ruang publik bukanlah milik perempuan. Perempuan masih dihantui oleh tindak pelecehan seksual. Bukti bahwa hak atas tubuhnya belum terlegitimasi dan terlindungi penuh, baik secara kultural maupun struktural.

Membahas satu demi satu karya Agnès Varda ibarat menyaksikan betapa waktu bukan sebab  seseorang berhenti berkarya ataupun musabab yang membatasi keleluasaan cara berpikir. Ia adalah bukti seniman lintas generasi yang telah bergelut di ranah sinematografi selama hampir enam dekade. Menegaskan  film sebagai media penyalur suatu gagasan, bukan sekadar media hiburan. Menarik garis lebih intim dalam kerangka feminisme, mosi-mosi yang diusung Varda selayaknya banding yang diajukan untuk mewakili kaum perempuan di mana mereka sudah terlampau sering dijadikan komoditas maupun objek oleh sorot kamera. “I  thought, I have to use cinema as a language.”

2012

No comments:

Post a Comment