oleh Shirley Tamara, foto diambil dari Goethe Institute
“Saya percaya semua orang punya kesempatan yang sama, tinggal bagaimana masing-masing mau atau tidak mengambil kesempatan itu, apa akan diteruskan atau tidak. Jadi kayaknya, tergantung bandelnya masing-masing.”
Barisan kalimat yang diucapkan oleh Ditta Miranda Jasjfi di atas menjadi penutup dari rangkaian acara bertajuk “DITTA MIRANDA JASJFI: Sebuah Perjalanan Tari” yang diselenggarakan di GoetheHaus, beberapa waktu silam.
Sesungguhnya, bagi saya yang berada di luar komunitas tari, rasanya sulit untuk membicarakan Ditta Miranda Jasjfi tanpa mengkaitkannya dengan nama besar pimpinan sekaligus koreografer Tanztheater Wuppertal, Pina Bausch. Nama Ditta baru saya dengar ketika pada beberapa waktu lalu, Goethe Institut Indonesia mengadakan pemutaran film Pina 3D karya Wim Wenders. Ditta hadir di acara itu dan sempat memberikan testimoninya mengenai film karya Wim Wenders tersebut. Baru ketika itulah saya mengetahui bahwa ada seorang Indonesia yang menjadi anggota dari Tanztheater Wuppertal Pina Bausch.
Belajar menari sedari kecil, awalnya Ditta menari tradisional, lalu diteruskan dengan kelas balet di Sumber Cipta yang dipimpin oleh Farida Oetojo. Dalam sesi tanya jawab, Farida Oetojo sempat mengemukakan bahwa pada awalnya ia merasa tidak yakin dengan kemampuan Ditta. Namun kegigihan dan semangat yang ditunjukkan Ditta akhirnya mengubah pendapatnya. “Menjadi penari itu capek, sakit, pegel, gak bisa tidur, dan sebagainya. But you have to do that. Dan Ditta melakukannya, dan ia berhasil.”
Ditta pun mengakui bahwa perjalanannya ke Jerman bukannya dilalui tanpa halangan. Ia sudah memasuki tahun ketiga perkuliahan di Sastra Jepang UI ketika akhirnya ia memutuskan untuk mengambil sebuah tawaran untuk mengikuti program kelas tari di sana. “Banyak orang bilang, kan sayang sekolahnya, tapi karena saya bandel, makanya saya jadi begini. Saya memutuskan untuk berhenti kuliah, harus akting jadi orang gila dulu ke ayah dan ibu saya, biar bisa pergi.”
Di Jerman, Ditta sempat juga menari untuk Susanna Linke-yang juga bersama Pina Bausch mengembangkan Tanztheater-, sebelum akhirnya bergabung dengan Tanztheater Wuppertal Pina Bausch pada tahun 2000. Dari Susanna Linke, ia belajar bahwa tampil solo, sebab Linke lebih sering membawakan tarian solo. Salah satu pesan dari Linke yang paling diingatnya, “kalau bikin tarian, yang paling pertama adalah emosi. Kedua baru gerakan. Biarkan gerakan lahir dari emosi itu sendiri.” Maka dari itu, ketika membawakan dua nomer tarian yang dikoreografikan oleh Pina Bausch secara solo malam itu, aura Ditta sebagai penari yang kini bersama Tanztheater Wuppertal Pina Bausch banyak menari dalam grup, tetap mampu menggetarkan hati dan memainkan emosi para penonton yang ada dalam auditorium GoetheHaus. Ten Chi, tarian pertama dengan latar belakang budaya dan nuansa Jepang modern yang dibawakan Ditta, menyiratkan akan adanya usaha-usaha pendekatan manusia dengan kebudayaan. Sementara Vollmond, tarian terakhir yang juga dibawakan solo, terasa lebih dinamis dan kuat, dengan latar belakang setting malam yang diterangi oleh bulan purnama (Vollmond). Dalam ulasan The Guardian, Sanjoy Roy bahkan menyebutkan nomor koreografi Pina ini sebagai sebuah contoh bagaimana Pina memadukan sikap bebas lepas dan kendali ekstrim yang menjadi kekuatannya. Dan memang betul, malam itu Ditta menarikan Vollmond persis sesuai deksripsi di atas.
Pada nomor koreografi kedua yang dibawakannya, Ditta tidak tampil sendiri, duetnya, Sikko Setyanto, menjadi pasangan yang serasi dalam menarikan koreografi yang diciptakan oleh Farida Oetojo. Versi yang dibawakan Ditta malam itu merupakan pengembanagan dari versi-versi yang telah dibawakan sebelumnya. Sebuah nomor yang paling caria dan jenaka, namun kental akan nuansa Indonesia yang dibawakan pada malam itu. Pada nomor TOC, Ditta seakan keluar dari imej-nya sebagai salah seorang penari dari Tanztheater. Ia menjelma menjadi Ditta, sang penari yang mampu mengejahwantahkan koreografi apapun dalam setiap motivasi dan lekuk gerak tubuhnya.
Bisa jadi, hal ini dipelajari Ditta dari Pina. Ia mengatakan bahwa Pina membuat para penarinya untuk mengekspresikan setiap koreografi dengan jujur. “Kalau kita jujur pada hati kita, dan kita keluarkan apa yang ada di dalam hati kita, maka kita akan menjadi diri sendiri,” tutur Ditta. Sambil masih mengenang Pina, Ditta pun menyampaikan bahwa Pina selalu menempatkan penarinya pada titik ekstrim, dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memicu penarinya untuk terus mencari, berpikir, hingga lelah, sampai berbulan-bulan. “Ada beberapa hal yang sering ditanyakan Pina, antara lain: liebe (cinta), sehnsucht (longing), dan resiko,” ucapnya.
Sebenarnya saya risau apabila tulisan ini akan memberi impresi yang menyiratkan Ditta berada di bawah bayang-bayang nama besar Pina Bausch. Namun penampilan Ditta dalam nomor kedua tarian yang dibawakannya, TOC, serta penuturan yang dikemukakannya pada sepanjang diskusi mengenai dirinya serta hubungannya dengan Pina mudah-mudahan akan membuat Anda berpikir lebih jauh mengenai eksistensi dan kemampuan Ditta Miranda Jasjfi sebagai seorang penari yang memang terkait secara emosional dengan Pina Bausch.
“Kami (para penari Pina) merasa ada keterikatan dengan Pina. Kami merasa bahwa Pina sangat menyayangi kami, para penarinya. Saat ini kami sedang sibuk mengarsipkan karya-karya Pina. Sebab tari itu berbeda dengan seni lukis atau menulis, setelah proses penciptannya selesai, ia tidak akan lantas ada selalu. Tari itu harus selalu dipentaskan lagi agar selalu diingat.”
Bagi saya sendiri, statement tersebut menyadarkan bahwa berada atau lepas dari bayang-bayang sebuah nama besar tidak lagi menjadi perkara penting ketika sebuah kata nan indah bernama ‘dedikasi’ berkumandang dan mengharumkan seluruh penjuru ruangan malam itu.
2012
No comments:
Post a Comment