“Saya
seringkali berharap bahwa saya memiliki mesin foto dan dapat mengambil gambar
rakyat kami—sebagaimana hanya saya yang dapat melakukannya, dan bukan Eropa.
Ada begitu banyak hal yang ingin saya jadikan kata-kata dan gambar-gambar, agar
orang Eropa dapat memperoleh gambaran murni tentang kami orang-orang Jawa.”
Foto 1.
Raja Jawa oleh Kassian Chepas
Foto 2.
Seorang puteri Jawa di studi foto oleh Kassian Chepas
|
Kalimat
tersebut keluar dari mulut seorang puteri sejati seorang aristrokat dan pegawai Jawa, sang ikon emansipasi perempuan di negeri kita yakni Raden Ajeng Kartini
pada tahun 1900. Dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Dari Gelap
Terbitlah Terang kita dapat membayangkan bagaimana kekaguman seorang
Kartini muda terhadap mesin kamera yang pada masa itu merupakan sebuah
teknologi mutakhir. Dari kutipan kalimat di atas, tampak pula kesadaran Kartini
akan kemampuan fotografi dalam menciptakan citra-citra, sehingga ia menganggap
bahwa jika ia memotret rakyatnya, ia akan menghasilkan sebuah “gambaran murni”
tentang orang Jawa, bukan citraan lain yang mungkin dihasilkan oleh orang
Eropa.
Pada
masa yang tak jauh berbeda, Kassian Chepas (1845-1912), menurut sumber-sumber
sejarah disinyalir sebagai orang pribumi pertama yang bisa menggunakan kamera
foto. Cephas mulai belajar menjadi seorang fotografer profesional pada tahun
1860-an. Ia bekerja di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono VII dan foto-fotonya tentu saja kebanyakan merupakan gambaran
kehidupan para bangsawan di balik tembok Keraton. Hasil foto Cephas hanya
merekam keindahan dan keagungan raja-raja Jawa sehingga yang tampil hanyalah
ilusi-ilusi eksotisme bagi pemerintah Belanda yang kala itu merupakan kolektor
foto-foto Chepas, bukan kenyataan bahwa pada masa itu rakyat Indonesia sedang
mengalami penjajahan.
Foto-foto
di era kolonial, menurut Jean Gelman Taylor merupakan sebuah “rekaman visual
yang terencana dan penuh kelicikan”. Hal ini disebabkan karena pada masa itu,
berfoto merupakan sebuah hal yang eksklusif dan hanya bisa dilakukan oleh para
bangsawan atau orang Belanda saja untuk menunjukkan status sosialnya. Foto-foto
ini tidak mengabadikan saat-saat bersejarah dalam kehidupan Hindia Belanda pada
masa itu tapi merupakan kejadian-kejaian yang terkoreografi yang memiliki kesan
seremonial karena pada masa itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk
mengambil sebuah foto. Dari foto-foto pada era ini, kita akan melihat citra pribadi-pribadi,
namun bukan saat-saat pribadi. Foto-foto ini menunjukan pandangan-pandangan
modern atas apa yang dianggap baik dan kaya pada masa itu dari analisis atas
pose maupun kostum yang dikenakan saat berfoto.
Foto 4. Seorang perempuan Belanda berpose di ruang tamu pada tahun 1939, fotografer tidak diketahui. |
Adalah
H.F Tillema, seorang apoteker, pengusaha air minum kemasan, etnolog amatir dan
petualang sejati yang membuat foto-foto yang berbeda dari kebanyakan foto yang
ada pada masanya. Tillema dijuluki sebagai “The Multatuli of Photography”, hal
ini disebabkan karena foto-fotonya dianggap menyebarkan humanisme yang mungkin
pada masa itu, agak ketinggalan jaman. Berbeda dengan rekan-rekannya yang
memotret keindahan pemandangan di tanah jajahan, Tillema memilih untuk memotret
sisi lain dari rakyat di negeri jajahannya. Jika teman-temannya memotret
kecantikan puteri-puteri keraton Jawa, Tillema merekam bocah cacingan yang
sedang buang air. Jika teman-temannya memotret penari bali yang sedang berpose
anggun, maka Tillema memotret penari cilik dari Bali yang menderita kusta. Ada
yang menganggap bahwa yang dilakukan Tillema adalah sebuah usaha humanisme
untuk menunjukan apda pemerintah Belanda tentang keadaan sesungguhnya di negeri
jajahannya. Namun ada juga yang menyangka bahwa yang dilakukan Tillema
sebenarnya adalah sebuah penelitian yang terangkum dalam buku cara hidup bagi
orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda berjudul Kromoblanda (1922).
Bisa jadi, Tillema ingin menunjukkan keprimitifan cara hidup kaum pribumi
sehingga justru membimbing opini kaum Belanda untuk lebih berhati-hati dalam
berhubungan dengan kaum pribumi dengan alasan kesehatan.
Foto 5. Bocah sedang buang air oleh H.F. Tillema
|
Kisah
heroik fotografi Indonesia muncul pada masa detik-detik sebelum proklamasi.
Frans dan Alex Mendur (lebih sering disebut sebagai Mendur bersaudara) adalah
fotografer yang layak dianggap sebagai pejuang proklamasi. Lewat rekaman
fotografisnya menggunakan kamera Leica, mereka merekam detik-detik proklamasi
sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Ketika mereka mengabadikan perisitiwa
bersejarah itu dan ingin menyebarkannya di koran-koran nasionalis, tentara
Jepang mengejar mereka untuk mendapatkan negatif foto-foto tersebut agar berita
proklamasi kemerdekaan tidak tersebar di seluruh Indonesia. Mendur bersaudara
harus lari dan menanam negatif tersebut di bawah pohon kantor harian Asia Raya
sehingga dapat mengibuli tentara Jepang. Foto tersebut baru bisa naik cetak
enam bulan sesudah peristiwa proklamasi yakni tanggal 17 februari 1946, dan
akhirnya sampai saat ini berkat jasa Mendur bersaudara, foto Presiden Soekarno
membacakan teks proklamasi bisa kita lihat di buku-buku sejarah kita.
Memori
Kolektif: Yang Ditampilkan dan yang Disembunyikan
Foto 6. Pengibaran bendera saat Proklamasi Kemerdekaan oleh Mendur bersaudara |
Citraan
dua dimensi yang dibekukan oleh kamera dapat membentuk suatu memori kolektif.
Memori adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia, sebab masa lalu turut
membangun apa yang terjadi di masa ini dan masa depan. Memori kolektif
merupakan sesuatu yang ada dalam memori bersama suatu masyarakat tertentu, ada
yang hidup dan ada yang terhambat (collective occlusion). Dalam pemrosesan
informasi sampai menjadi memori yang termodifikasi dengan rapi dalam
pikiran-faktor individu dan lingkungan ikut berperan serta, sehingga terdapat
memori yang diajarkan (learned memory) dan memori yang hidup (lived memory).
Pelajaran
sejarah yang kita dapatkan di sekolah adalah sebuah memori kolektif. Walau
begitu, memori kolektif kebenarannya tidaklah absolut. Perdebatan antara
kebenaran memori kolektif dan memori individu adalah perdebatan yang panjang
dalam wacana sejarah. Memori kolektif bisa jadi sebuah usaha politik untuk
mengklaim sebuah kebenaran oleh penguasa pada masa itu. Contoh yang paling
mudah adalah kisah pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat pada tanggal 30
September yang selama pemerintahan Orde Baru kita anggap sebagai kekejaman PKI.
Setalah Orde Baru runtuh, muncul banyak versi lain dari peristiwa G30S.
Pada
kasus fotografi era kolonial, kita harus kritis menyadari bahwa gambar-gambar
yang direkam oleh fotografer pada masa itu adalah citraan-citraan. Bukan
berarti lantas foto-foto tersebut tidak dapat menjadi sumber sejarah yang
valid. Dari foto-foto tersebut, dengan mempelajari konteksnya kita dapat memahami
pandangan-pandangan para fotografer atau subjek yang dipotret tentang kelas,
modernitas atau nasionalisme. Fotografi tempo doeloe adalah bagian
dari memori kolektif kita tentang sejarah bangsa. Yang perlu kita ingat,
fotografi adalah sebuah proses pembingkaian suatu objek yang difokuskan dan
pengeliminasian yang lainnya. Ketika kita melihat yang ditampakkan, kita tidak
boleh letih mencari apa yang disembunyikan. Sejarah tidak absolut, karena kita
adalah sejarah.
No comments:
Post a Comment